Rabu, 25 November 2015

ABUDAN
https://m.facebook.com/Avenue-ONE-CAR-CARE-164985580504942/



Bay pass . Taman orkid. Port dickson. Seremban

MEMENG

Jumat, 04 September 2015

ABUDAN GUA AULIA TUJUH (SEBUAH "JALAN KE MAKKAH")

Gua Aulia Tujuh.

Pada suatu masa di tanah Aceh, tersebutlah tujuh pemuda yang berniat menunaikan ibadah haji ke Makkah. Tapi mereka sama sekali tak punya uang untuk mengongkosi perjalanan itu. Ketujuh pemuda itu pun kemudian berembuk.
“Wahai saudaraku, apa kalian punya ide bagaimana caranya agar kita bisa sampai ke Makkah?” tanya salah satu dari pemuda itu kepada rekan-rekannya. Lama tak ada yang menjawab. Semua diam seribu bahasa. Dan, pada akhirnya pemuda tadipun mengusulkan, “Bagaimana kalau kita pergi ke bandar, tempat berlabuhnya kapal yang akan mengangkut jamaah haji.”
“Apa yang akan kita lakukan di sana, wahai saudaraku? Kita tidak punya uang.” Seorang pemuda lainnya menjawab. Suasana kembali hening. Padahal mereka sudah sangat rindu akan Tuhannya. Beribadah langsung di depan Ka’bah. Di Makkah Al-Mukarramah. Dalam keheningan itu, seorang pemuda lain memberi ide. “Bagaimana kalau kita meminta pekerjaan kepada pemilik kapal. Sebagai gantinya kita tidak perlu dibayar, asal bisa ikut ke Makkah.” Ide itupun disambut gembira oleh keenam pemuda lainnya.

Beras dan lauk pauk kemudian disiapkan sebagai bekal perjalanan dari kampung halaman mereka di Timur Pedir ke bandar di Kutaradja. Perjalanan kaki yang membutuhkan waktu lima hari lamanya. Ketujuh pemuda itu bahkan tak punya uang untuk membeli kuda. Bukan tidak berusaha, mereka telah mencoba mencari tumpangan kepada calon jamaah haji lainnya yang pergi ke bandar dengan kereta kuda. Tapi tak ada yang bersedia memberi tumpangan.
Akhirnya pergilah mereka dengan segala kemungkinan risiko yang telah siap dihadapi. Apalagi untuk sampai ke bandar harus menempuh perjalanan naik dan turun gunung. Melewati bukit terjal dan hutan lebat untuk memperpendek jarak tempuh. Bukan tak mungkin binatang buas akan menerkam ketujuh pemuda itu. Tapi sejak niat menunaikan ibadah haji muncul, jiwa dan raga sudah diikhlaskan kembali kepada Tuhannya. Mereka juga rela bekerja di kapal tanpa dibayar, walau perjalanan ke Mekkah harus ditempuh dalam waktu berbulan-bulan. Siang dan malam. Dengan ombak yang kadang besar dan arah mata angin yang tidak menentu.
Puncak ibadah haji akan dilaksanakan pada bulan Dzulhijjah setiap tahun Hijriah. Menurut kabar yang mereka dengar, kapal yang menuju Makkah akan berlayar pada awal bulan Sya’ban. “Mari kita berangkat wahai saudara-saudaraku!” Saat itu minggu ke tiga di bulan Rajab. Seorang pemuda ditunjuk sebagai pemimpin. Mereka mengenakan pakaian serba putih. Bekal yang telah dibungkus menjadi tujuh bagian diletakkan di atas bahu masing-masing dengan penyangga tongkat kayu.
Mereka lalu berjalan beriringan. Hari berganti hari. Matahari telah lima kali terbenam. Tapi ketujuh pemuda itu belum juga sampai ke bandar. Sementara bekal yang mereka bawa semakin menipis. Hanya tersisa lauk tanpa beras. Sementara tenaga mulai melemah. Seorang di antara pemuda itu malah jatuh sakit. Badannya menggigil dan panas. Tapi satu hal yang tidak pernah dilupakan ketujuh pemuda itu; menunaikan shalat lima waktu tepat waktu, dengan petunjuk bayangan tubuh di siang hari. Merekapun bersyukur tidak ada binatang buas yang mengganggu selama perjalanan.
“Wahai saudaraku, matahari telah lima kali terbenam dan enam kali terbit, tapi kita belum juga sampai ke bandar. Aku takut kita tersesat di tengah hutan belantara ini.” Pernyataan pemuda tadi menyadarkan rekan-rekannya yang lain. Rupanya pemuda tadi mencoret satu garis dengan kapur tiap kali matahari terbenam dan terbit di tongkat kayunya. Ia sadar saat menghitung jumlah garis itu.
Ketujuh pemuda itu akhirnya kembali berembuk dan memutuskan untuk beristirahat sejenak. “Lihatlah wahai saudaraku, di sana sepertinya ada permukiman penduduk. Lihatlah asap-asap itu!”
“Iya, wahai saudaraku. Sepertinya kita bisa mencari bantuan ke sana dan meminta sepiring nasi untuk rekan kita yang sakit,” ujar seorang pemuda.
“Tapi siapa yang akan ke sana? Sedangkan kita harus berbagi tugas untuk mencari sumber mataair, kayu bakar, dan buah-buahan dari pohon hutan yang bisa dimakan. Belum lagi menjaga rekan kita yang sakit,” sahut pemuda lainnya. “Lagi pula perjalanan ke sumber asap itu harus menuruni lereng bukit yang terjal.”
“Bagaimana kalau saya seorang diri yang ke sana.” Pemuda yang ditunjuk sebagai pemimpin menawarkan diri. Usul itu akhirnya disepakati juga. Seorang di antara mereka ditugaskan menjaga rekannya yang sakit. Dua orang mencari kayu bakar dan bekal dari pohon hutan yang bisa dimakan. Dua lainnya pergi mencari sumber mata air.
Dan, berangkatlah kelima pemuda itu untuk menjalankan tugasnya masing-masing. Seorang pemuda turun ke kampung mengikuti arah asap dengan pakaian lusuh. Bukit terjal dan tubuh yang mulai tergores bebatuan runcing hingga mengeluarkan darah bukanlah halangan. Yang ada dipikirannya adalah bagaimana ia bisa menndapatkan sepiring nasi, agar rekannya cepat sembuh dan bisa melanjutkan perjalanan ke bandar.
“Syukur kami kepada-Mu, Tuhan.” Hanya kalimat itu yang terucap dibibirnya saat ia melihat permukiman penduduk. Ada banyak orang berkumpul di sebuah rumah. “Saya harus ke sana. Sepertinya sedang ada hajatan.” Bisik pemuda itu di dalam hati.
“Maaf, wahai ibu-ibu ahli surga. Apakah di sana sedang ada hajatan?” tanyanya, menunduk. Kala itu ia berpas-pasan dengan sekelompok ibu-ibu.
“Di rumah besar milik bangsawan itu?” Seorang ibu berdandan tusuk ronde balik bertanya, sinis.
“Iya.”
“Apakah engkau yakin mau ke sana?” Seorang ibu lainnya kembali bertanya dengan mata yang menyapu bersih penampilan pemuda itu, dari ujung kaki hingga ujung rambut.
“Mohon pamit, ibu-ibu.” Pemuda tadi akhirnya bergegas pergi. Menghindari prasangka yang mungkin timbul.
Sampailah ia ke rumah yang dituju. Disapanya orang-orang yang hadir pada acara hajatan itu dengan sopan. “Bolehkah saya meminta sepiring nasi? Teman kami sedang sakit di tengah hutan sana.” Pemuda itu memperhatikan ke sekelilingnya. Tamu-tamu hadir dengan perhiasan emas di tubuhnya. Mangkuk, garpu, dan sendokpun semuanya berlapis emas.
Dilihatnya orang-orang memperhatikan ia sambil menutup hidung. Tak lama berselang, seorang pemilik rumah tiba-tiba keluar. Tapi bukannya memberi makanan, malah mengusirnya. “Pergilah! Acara hajatan tidak jadi digelar. Engkau telah mengacaukannya. Tak ada nasi untuk orang berpenampilan lusuh sepertimu,” bentak pemilik rumah. “Kamu tau kalau hanya dari golongan para bangsawan yang boleh menginjakkan kakinya di tanah Laweung Pedir ini?”
Akhirnya pulanglah pemuda itu dengan tangan hampa. Teringat rekannya yang sakit dan sangat membutuhkan makanan. Ia kembali ke gunung dengan perasaan tidak menentu dan wajah lesu. Saat ia sampai, keempat pemuda lainnya telah kembali dan berhasil melaksanakan tugasnya masing-masing. Hanya ia yang tidak berhasil.
“Kenapa wajah engkau lesu, wahai saudaraku?” tanya pemuda yang sedang sakit.
“Maaf, wahai saudaraku, saya tidak berhasil melaksanakan tugas ini dengan baik.”
“Janganlah engkau bersedih, wahai saudaraku. Dibalik halangan dan musibah yang kita hadapi, mungkin Tuhan telah merencanakan sesuatu yang terbaik untuk kita dan hamba-Nya yang lain.”
Siang akhirnya berganti malam. Tidurlah ketujuh pemuda itu dengan alas seadanya. Hingga bulan sabit tepat di atas pemuda yang tadi turun ke kampung, ia belum juga bisa tidur. Hanya memejamkan mata seadanya. Sebagai pemimpin, ia merasa dirinya telah gagal. Ia lalu bangkit dan menunaikan shalat Tahajjud. Memohon pertolongan kepada Tuhannya.
***
“Wahai saudaraku, turunlah kembali ke kampung Laweung Pedir. Sekiranya kalian mendapati rumah-rumah di sana telah berubah menjadi gua-gua dengan batu-batu yang berbentuk nasi kulah, ranjang, pelaminan dan berbagai macam rupa lainnya, masuklah ke gua itu. Pilihlah tujuh gua untuk masing-masing kalian. Beribadah dan bermunajatlah kepada Tuhanmu. Jika kalian ikhlas, percayalah, Tuhanmu tidak pernah tidur dan kalian akan ditunjukkan jalan ke Makkah.” Seorang Aulia tiba-tiba masuk ke dalam mimpi pemuda yang tadi bertahajjud kepadaTuhannya.
“Tapi sebelum itu, berdakwalah di jalan Tuhanmu. Janganlah kalian membiarkan orang-orang dalam kesesatan.”
Setiap kali Aulia itu mengucapkan kata-katanya, di dalam tidurnya di atas sajadah cinta kepada Tuhannya, pemuda tadi merasakan kalau bumi sedang bergetar hebat dan dentuman keras menggelegar di mana-mana.
***
Matahari pagi baru saja menyingsing. Ibadah dan puja puji kepada Tuhan usai sudah ditunaikan. Pemuda yang semalam bermimpi bertemu Aulia Tuhannya berbalik arah. Duduk melingkar di antara enam pemuda lainnya. Ia lalu menceritakan mimpi itu kepada saudara-saudaranya. Dengan bibir yang bergetar, bulu kuduk yang berdiri, dan hati penuh keyakinan akan kekuasaan Tuhannya.
“Kami yakin itu adalah petunjuk dari-Nya,” ujar seorang pemuda, begitu ia selesai mendengar ceritanya.
“Iya, saya juga yakin,” sahut pemuda lainnya.
Akhirnya bersepakatlah pemuda itu untuk turun ke kampung. Apalagi seorang rekan mereka yang tadinya sakit telah kembali sehat. Betapa terkejutnya ketujuh pemuda itu saat mendapati permukiman penduduk yang tadinya berdiri rumah-rumah besar telah berubah menjadi lebih dari 30 gua.
“Kemana gerangan penduduk kampung ini, wahai saudaraku?” tanya seorang dari mereka.
“Mari kita lihat ke sekeliling!” ajak seorang pemuda lainnya.
Maka, pergilah ketujuh pemuda itu menyusuri setiap sudut kampung Laweung. Hingga akhirnya mereka menemukan penduduk dari golongan anak-anak di salah satu gua yang dilindungi oleh batu menggelantung. Batu anti gravitasi yang tanpa penyangga. Anak-anak tersebut lalu dituntun keluar gua. Tidak ada di antara mereka yang tau apa yang terjadi. Anak-anak itu hanya ingat, malam sebelumnya mereka tidur di rumah masing-masing, dan saat terbangun sudah berada di dalam gua tersebut.
Bersama anak-anak, ketujuh pemuda itu terus berjalan. Menyusuri setiap sisi gua hingga lereng bukit. Mereka akhirnya menemukan juga penduduk kampung dari golongan laki-laki dan perempuan dewasa. Semuanya dalam keadaan menggigil dan ketakutan. Berselimutkan dedaunan-dedaunan pohon hutan.
Mendekatlah ketujuh pemuda itu ke arah kelompok laki-laki dewasa. Anak-anak hanya termangu di tempatnya berdiri. Penduduk kampung lalu bercerita tentang apa yang terjadi semalam. Bumi yang berguncang hebat, malam yang gelap gulita, dan mereka yang lari tunggang langgang menyelamatkan diri.
“Maha suci Tuhan yang telah menjaga kita semua dan anak-anak yang masih suci ini.” Ketujuh pemuda tadi tiada henti-hentinya memuja Sang Pencipta.
Secara beiringan, mereka kemudian beranjak dari lereng bukit. Betapa terkejutnya penduduk kampung saat melihat rumah mereka telah berubah menjadi gua-gua yang terukir indah asma Tuhannya.
Seketika, puja puji kepada Tuhan terdengar agung. “Maafkan kami wahai kekasih Tuhan dan pewaris Nabi!” ujar seorang di antara warga kampung. “Maafkan atas perilaku kasar dan tidak bersahabat dari kami.”
“Mohon ampunlah kepada Tuhan. Kami sudah memaafkan kalian semua.”
***
Hari-hari berikutnya, tinggallah ketujuh pemuda itu di kampung Laweung Pedir. Berdakwah dan mengajari penduduk kampung dari golongan anak-anak hingga orang dewasa, membaca dan memahami firman-firman Tuhannya. Mencerna sabda Nabi mereka, agar tau apa-apa yang diperintahkan Tuhan dan apa-apa yang dilarang.Matahari pun terus berputar pada porosnya. Terhitung 120 kali terbit dan terbenam sudah. Melewati Sya’ban, Ramadhan, hari kemenangan di bulan Syawal, hingga Dzulkaidah. Kini tibalah bulan Dzulhijjah. Bulan kerinduan. Berpamitlah ketujuh pemuda itu kepada penduduk kampung. Pergi beribadah dan bermunajat kepada Tuhan mereka di dalam gua. Menemukan jalan ke Makkah.
Shalat Istikharah pun ditunaikan. Setelah itu mereka memilih sendiri gua yang akan ditempati. Tanpa harus berembuk. Tanpa saling berebut. Tuhanlah yang telah mencondongkan hati mereka. Masing-masing membawa tongkat kayu yang ditancapkan di tanah sebagai petunjuk datangnya waktu shalat. Merujuk pada bayangan sinar matahari ciptaan Tuhannya. Sinar yang tembus melalui celah-celah dinding gua.
Mereka beribadah dan bermunajat kepada Tuhannya dengan penuh keikhlasan. Hingga di hari ketujuh pemuda itu berada di dalam gua, terdengarlah gema, “Labbaik allahhumma labbaik.” Membangunkan penduduk kampung yang tengah terlelap dalam tidur. Bulan terang, bintang yang berkelap-kelip, memberi cahaya terang untuk ikut melihat apa yang sesungguhnya terjadi. Penduduk kampung lalu bersepakat melihat ke gua dalam tujuh bagian. Sambil memuja Tuhannya, mereka terus berjalan. Gema “Labbaik allahhumma labbaik” kian terdengar jelas. Tapi, betapa terkejutnya penduduk kampung, satupun di antara mereka tidak ada yang bisa melihat ketujuh pemuda itu. Hanya tongkat kayu yang masih tertancap di tempatnya.
***
Alkisah, tersiarlah kabar ke seantero tanah Aceh tentang tujuh pemuda yang pergi ke Makkah setelah beribadah dan bermunajat kepada Tuhannya di dalam gua di Laweung Pedir. Maka, berbondong-bondonglah di antara penduduk tanah Aceh lainnya untuk meniru hal serupa. Tapi, bukannya mendapat perlindungan dari Tuhannya untuk sampai ke Makkah, mereka malah keluar dari gua yang mereka masuki dengan berbagai macam kondisi dan rupa. Ada yang seluruh tubuhnya kemerah-merahan. Ada juga yang muka dan matanya lembam. Tidak ada yang berhasil.
Menunggulah para penduduk di depan gua yang tujuh. Berharap bisa menemui ketujuh pemuda itu seandainya kelak pulang. Tapi, hari berganti hari. Malam berubah siang. Siang kembali menjadi malam. Yang ditunggu tak jua kembali.
Di suatu malam, ketujuh pemuda itu lalu datang melalui mimpi seorang penduduk. Berpesanlah mereka, “Wahai hamba-hamba yang dikasih Tuhan, tidak perlu kalian menunggu kami kembali. Jangan pula kalian meniru-niru suatu pekerjaan yang mana kalian tidak punya ilmu untuk itu. Menuntutlah kalian semua di jalan Tuhanmu, agar tidak tersesat di alam kehidupan ini.”tapi kalau anda memaksa diri untuk mencoba jangan salahkan aku hehehe. 
Pesan itu kemudian disampaikan kepada penduduk lainnya. Merekapun akhirnya menjadi sadar bahwa Tuhan akan meninggikan orang-orang beriman dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat. Begitulah Tuhan menjaga para Aulianya. SEMOGA BERMANFAÀT ABUDAN TERIMAKASIH SELAMAT MERENUNGKAN

Selasa, 01 September 2015

manyat mengeluarkan air mata saàt di kuburkan

JENAZAH MENANGIS SAAT DIKAFANI
ABUDAN
Malam itu di kediaman keluarga pak Eman terjadi keribut besar. Pak
Eman dan Istrinya sedang bertengkar karna masalah kehidupannya
yang serba pas-pasan.
''AKU SUDAH MUAK HIDUP SEPERTI INI..!!! POKOKNYA AKU MAU
PERGI DARI RUMAH INI.. TITIK...!!!!'' bentak Istri pak Eman dengan
suara lantang.
Pak Eman hanya tertunduk tidak bisa menjawab. Hatinya
berkecamuk antara takut dan marah pada Istrinya. Melihat reaksi dari
sikap sang suami, si Istri pun tambah muak dan mengemasi
barang-barangnya lalu pergi meninggalkan rumah itu.
Pak Eman masih tetap diam memendam perasaannya. Sedangkan
Istrinya sudah pergi menuju kota demi hidup yang layak.
Pak Eman adalah seorang buruh tani biasa. Hidupnya tidaklah
berkekurangan walau pun tinggal di rumah yang terbuat dari kayu.
Walau pun hidup di desa, tapi semua kebutuhan keluarganya
mampu di cukupi.
Pasangan suami istri ini telah di karuniai seorang anak laki-laki
bernama Oman. Usianya masih 5 tahun. Kini Pak Eman dan
Anaknya Oman tinggal di rumah berdua tanpa adanya bantuan dari
Istri pak Eman. Sedangkan sang Istri pergi begitu saja tanpa adanya
izin dari seorang suami demi mendapatkan kehidupan yang berlebih
di ibu kota jakarta akibat tergiur oleh temannya yang sudah sukses
di ibu kota.
3 tahun kemudian.
Sang istri pun sukses dengan harta berlimpah dari hasil kerjanya
menjadi seorang model majalah. Kehidupannya berubah drastis dari
hidup sederhana menjadi orang yang cukup terkenal dan tinggal di
sebuah rumah mewah di lengkapi dengan mobil pribadi dan juga
perabotan yang serba mewah.
Suatu hari pak Eman datang dengan anaknya ke rumah Istrinya. Tak
di sangka, istrinya bisa sesukses ini di ibu kota. Sang anak pun
tampak sangat gembira penuh ke banggaan setelah melihat rumah
ibunya. Mereka berdua sudah tidak sabar ingin melihat si istri saat ini
yang sudah sangat kaya raya.
''Tok.. Tok.. Tok..!!! Assallammualaikum..!!!'' sahut pak Eman sambil
mengetuk pintu rumah istrinya.
Tak lama kemudian sang Istri keluar membukakan pintu rumahnya.
''SIAPA KALIAN...!!! MAU APA KALIAN KESINI..!!! TIDAK SOPAN..!!!
GEMBEL KAYAK KALIAN BISA MENGOTORI HALAMAN RUMAHKU..!!!
PERGI SANAH...!!!'' bentak sang istri sambil mengusir pak Eman dan
Anaknya.
''astagfirulloh..!!! Segitu lupakah kamu dengan kami...? Aku ini
suamimu Eman dan anakmu Oman...!!!'' jawab pak Eman dengan
wajah sedih.
''Hmmm... Siapa ya..? Maaf.. aku tidak kenal kalian.. Mungkin kalian
salah orang..! Lebih baik kalian pergi saja..!! Aku lagi sibuk..!!'' sahut si
Istri sambil menutup pintu.
DEEG..!!!
Bagaikan terpukul Godam seberat 50 kilo. Pak Eman tak percaya
ketika Istrinya tidak mengakui dirinya sebagai suaminya lagi. Dan
saat itu anaknya Oman hanya bisa menangis memanggil-manggil
ibunya dari luar rumah. Lalu pak Eman menarik tangan anaknya
untuk pergi meninggalkan rumah itu.
Sang Istri mengamati ke pergian suami dan anaknya dari balik
jendela rumahnya dan menarik nafas lega setelah anak dan
suaminya sudah pergi. Takut kalau mereka datang lagi, lalu sang istri
pun buru-buru pergi ke garasi mobil dan meninggalkan rumahnya
menuju lokasi pemotretan.
Di perjalanan.
Sang istri mengendarai mobilnya dengan kecepatan tinggi. Antara
rasa malu dan kesal, sang Istri pun tidak konsentrasi membawa
mobil. Sehingga dia hampir menabrak sebuah truk di depannya dan
membanting setir ke pinggir jalan. Namun karna panik, sang istri
tidak melihat ada 2 orang di pinggir jalan sedang berjalan dan
akhirnya tabrakan pun terjadi. Sang Istri buru-buru keluar dari
mobilnya untuk memastikan orang yang di tabraknya. Dan di
pinggir jalan sudah tergeletak seorang lelaki dengan bocah dalam
kondisi telah bersimbah darah. Dan alangkah kagetnya si Istri setelah
sadar orang yang di tabraknya itu adalah suami dan anaknya sendiri.
Sang anak kini tengah menggelepar di pinggir jalan menghadapi
sakratul maut. Begitu pula sang suami.
Keduanya pun di larikan kerumah sakit. Namun nyawa anak dan
ayah itu tidak bisa di selamatkan karena di perjalanan menuju rumah
sakit, mereka sudah meninggal dunia. Akhirnya kedua jenazah itu
pun di autopsi. Setelah itu, kedua jenazah di kirim kerumah duka
sesuai alamat yang tertera di KTP milik pak Eman. Sang istri pun di
minta untuk pergi mengantarkan kedua jenazah itu kerumah duka
untuk menyelesaikan masalah ini dengan keluarga si korban.
Sesampainya di rumah duka.
Kedua jenazah pun di mandikan. Pihak kepolisian kebingungan karna
tidak ada keluarga si korban di rumah duka. Di saat ke bingungan,
pihak polisi bertanya pada sang Istri, apakah dia mengenali korban
atau tidak. Tapi sang istri menjawab dengan kata TIDAK.
Saat itulah sebuah kejadian aneh terjadi. jenazah sang anak langsung
mengeluarkan air mata dan tidak berhenti-henti.Para pelayat yang
memandikan jenazah sang anak itu pun kaget dan berusaha
berulang kali mengusap air mata sang anak yang masih saja terus
mengalir. Hingga akhirnya proses memandikan jenazah selesai.
Jenazah sang anak masih saja mengeluarkan air mata. Kini kedua
jenazah pun siap untuk di kafani. Pihak polisi pun mencoba
menanyakan pada beberapa warga. Siapa keluarga dari korban ini.
Lalu salah satu warga menjawab.
''ibu itu.. Dia adalah keluarga dari korban ini..! Dia adalah istri dan ibu
dari kedua korban ini..!! Jawab salah satu warga.
Sang istri langsung berkelit.
''SUMPAH..!!! SAYA TIDAK KENAL DENGAN MEREKA BERDUA..!!
SUMPAH...!!!''
Kembali para pelayat di kejutkan dari jenazah sang anak yang
semakin mengeluarkan air mata yang banyak. Seorang ustadz pun
menghampiri jenazah sang anak itu lalu menyeka air matanya
dengan tangannya. Tapi air mata sang anak masih saja terus
mengalir dan pak ustadz itu pun kembali menyeka air mata jenazah
itu dengan tangannya.
Tiba-Tiba Jenazah pak Eman bangun...!!!
Para pelayat menjadi hysteris sambil kocar-kacir melihat jenazah pak
Eman bangun tiba-tiba menghadap ke arah pak Ustadz sambil
berkata.
''STOP..!! MATA MERAH KARNA IRITASI JANGAN DI KUCEK...!!! PAKE
INSTO...!!! MATA KEMBALI SEGAR.. TANPA IRITASI...!!!''Ujar pak
Eman sambil memegang satu botol INSTO kemasan kecil.
Seketika para pelayat yang kocar-kacir itu pun langsung jungkir balik
berjama'ah.
ngahahaha...(n_n)
Serius amat sih bacanya....(~_~).

Senin, 17 Agustus 2015

jejak ABU IBRAHIM WOYLA


ABU IBRAHIM WOYLA

:ABU IBRAHIM BIN TGK SULAIMAN BIN TGK HUSEN:::



WALI ALLAH

Keramat atau dipanggilnya dengan
sebutan “Tgk Beurahim Wayla”. Tokoh ini
merupakan orang yang sangat dihormati di
Aceh dan dipercaya sering menunaikan shalat
Jum’at di Makkah dan kembali pada hari itu
juga.

Daftar Isi:

1. Kelahiran Abu Ibrahim Woyla
2. Masa Belajar Abu Ibrahim Woyla
3. Keluarga Abu Ibrahim Woyla
4. Ulama Pengembara
5. Ulama Pendiam
6. Dipercaya Sebagai Wali Allah
7. Hidup Zuhud
8. Karomah Abu Ibrahim Woyla
9. Pertemuan Abu Ibrahim Woyla dan
    Gus Dur
10Abu Ibrahim Woyla dan Tsunami
    Aceh
11Kewafatan Abu Ibrahim Woyla
12Kuburan Abu Ibrahim Woyla
    Digandakan.

     *  Kelahiran Abu Ibrahim Woyla
Abu Ibrahim Woyla yang bernama
lengkap Teungku Ibrahim bin Teungku
Sulaiman bin Teungku Husen dilahirkan di
kampung Pasi Aceh, Kecamatan Woyla,
Kabupaten Aceh Barat pada tahun 1919 M.
Mukhlis, salah satu santri
kepercayaan Abu Ibrahim Woyla, ditengarai
mengetahui persis garis keturunan Abu
Ibrahim Woyla. Awalnya garis ke atas
keturunan Abu Ibrahim Woyla yang berasal
dari Negeri Baghdad berjumlah tujuh orang
datang ke Tanah Aceh, persisnya berlabuh
di Aceh Barat. Kemudian, ketujuhnya
berpisah ke beberapa daerah di Aceh dan di
luar Aceh untuk menyebarkan agama Islam.

    *  Masa Belajar Abu Ibrahim Woyla
Menurut riwayat, pendidikan
formal Abu Ibrahim Woyla hanya sempat
menamatkan Sekolah Rakyat (SR),
selebihnya menempuh pendidikan Dayah
(pesantren tradisional/salafiyyah) selama
hampir 25 tahun. Sehingga dalam sejarah
masa hidupnya Abu Ibrahim Woyla pernah
belajar 12 tahun pada Syaikh Mahmud
seorang ulama asal Lhok Nga Aceh Besar
yang kemudian mendirikan Dayah Bustanul
Huda di Blang Pidie Aceh Barat. Diantara
murid Syaikh Mahmud ini selain Abu
Ibrahim Woyla juga Syaikh Muda Waly al-
Khalidy yang kemudian sebagai seorang
ulama Thariqah Naqsyabandiyah tersohor
di Aceh.
Menurut keterangan, Syaikh Muda
Waly hanya sempat belajar pada Syaikh
Mahmud sekitar 4 tahun, kemudian pindah
ke Aceh Besar dan belajar pada Abu Haji
Hasan Krueng Kale selama 2 tahun. Setelah
itu Syaikh Muda Waly pindah ke Padang
dan belajar pada Syaikh Jamil Jaho Padang
Panjang. Dua tahun di Padang Syaikh Muda
Waly melanjutkan pendidikan ke Mekkah
atas kiriman Syaikh Jamil Jaho. Setelah 2
tahun di Mekkah kemudian Syaikh Muda
Waly kembali ke Blang Pidie dan
melanjutkan mendirikan pesantren
tradisional di Labuhan Haji Aceh Selatan.
Saat itulah Abu Ibrahim Woyla
sudah mengetahui bahwa Syaikh Muda
Waly telah kembali dari Mekkah dan
mendirikan pesantren, maka Abu Ibrahim
Woyla kembali belajar pada Syaikh Muda
Waly untuk memperdalam ilmu Thariqah
Naqsyabandiyah. Namun sebelum itu Abu
Ibrahim Woyla pernah belajar pada Abu
Calang (Syaikh Muhammad Arsyad) dan
Teungku Bilyatin (Suak) bersama rekan
seangkatannya yaitu Abu Adnan Bakongan.
Setelah lebih kurang 2 tahun
memperdalam ilmu thariqah pada Syaikh
Muda Waly, Abu Ibrahim Woyla kembali ke
kampung halamannya. Tapi tak lama
setelah itu Abu Ibrahim Woyla mulai
mengembara yang dimana keluarga sendiri
tidak mengetahui ke mana Abu Ibrahim
Woyla pergi mengembara.

      *  Keluarga Abu Ibrahim Woyla
Abu Ibrahim Woyla memiliki dua
orang isteri. Isteri pertama bernama Rukiah
dan dikaruniai 3 orang anak, 1 laki-laki
dan 2 perempuan, bernama Salmiah,
Hayatun Nufus dan Zulkifli. Sementara
isteri keduanya dinikahi di Peulantee, Aceh
Barat, dua tahun sebelum beliau meninggal,
dan tidak dikaruniai anak.
Menurut cerita, tatkala isteri
pertamanya hamil 6 bulan (hamil yang
pertama), kondisi Abu Ibrahim Woyla saat
itu seperti tidak stabil. 
Sehingga beliau
mengatakan pada isterinya: “Saya mau
belah perut kamu untuk melihat anak kita.”
Hal itu membuat keluarganya tak
habis pikir terhadap apa yang diucapkan
Abu Ibrahim Woyla pada isterinya itu.
Karena perkataan seperti itu dianggap
perkataan yang sudah di luar akal sehat.
Para keluarga dengan cemas mengatakan
tidak tahu apa yang dimaksudkan oleh Abu
Ibrahim Woyla yang meminta untuk
membelah perut isterinya yang sedang
mengandung 6 bulan. Meskipun begitu,
perkataan yang pernah diucapkan itu tak
pernah dilakukannya.
Pada tahun 1954 sebenarnya tahun
yang sangat membahagiakan bagi pasangan
suami-isteri tersebut. Karena pada tahun
itu lahirlah anak pertama dari pasangan
Abu Ibrahim Woyla dan Ummi Rukiah.
Akan tetapi kehadiran seorang anak
pertama itu bagi Abu Ibrahim Woyla
bukanlah sesuatu yang istimewa. Abu
Ibrahim Woyla saat itu hanya pulang
sebentar menjenguk anaknya yang baru
lahir, kemudian beliau pergi kembali
mengembara entah ke mana.
Ketika anak pertamanya yang diberi
nama Salmiah sudah besar, menurut cerita
Teungku Nasruddin, barulah kondisi Abu
Ibrahim Woyla kembali normal hidup
bersama keluarganya. Dan saat itu Abu
Ibrahim Woyla sempat membuka lahan
perkebunan di Suwak Trieng untuk menjadi
harta yang ditinggalkan untuk keluarganya
di kemudian hari.
Pada saat itu kehidupan Abu
Ibrahim Woyla bersama keluarganya sudah
sangat harmonis hingga lahir anak kedua,
Hayatun Nufus dan anaknya yang ketiga
Zulkifli. Semua keluarganya sangat
bersyukur karena Abu Ibrahim Woyla telah
tinggal bersama keluarganya.
Namun apa mau dikata, tak lama
setelah lahir anaknya yang ketiga Abu
Ibrahim Woyla kembali meninggalkan
keluarganya dan entah ke mana. Sehingga
Ummi Rukiah tidak tahan lagi dengan
ketidakpedulian Abu Ibrahim Woyla
terhadap nafkah keluarganya, isterinya
minta untuk pulang ke Blang Pidie daerah
asalnya.
Alasan isterinya untuk pulang ke
Blang Pidie memang tepat, karena
menurutnya Abu Ibrahim Woyla tidak lagi
peduli kepada keluarga, beliau hanya asyik
berzikir sendiri dan pergi ke mana beliau
suka. Akan tetapi, keinginan Ummi Rukiah
untuk kembali ke Blang Pidie tidak
terwujud karena Allah mempersatukan
kembali Abu Ibrahim Woyla dan isterinya
sampai akhir hayatnya.
4. Ulama Pengembara
Menurut riwayat dari Teungku
Nasruddin (menantu Abu Ibrahim Woyla)
semasa hidupnya Abu Ibrahim Woyla
pernah menghilang dari keluarga selama 3
kali; selama 2 bulan, 2 tahun dan 4 tahun,
yang tidak diketahui ke mana perginya.
Dalam kali terakhir inilah Abu Ibrahim
Woyla kembali pada keluarganya di Pasi
Aceh.
Pihak keluarga tidak habis pikir
pada perubahan yang terjadi pada Abu
Ibrahim Woyla. Rambut dan jenggotnya
sudah demikian panjang tak terurus,
pakaiannya sudah compang-camping dan
kukunya panjang seadanya. Mungkin bisa
kita bayangkan seseorang yang menghilang
selama 4 tahun dan tak sempat untuk
mengurus dirinya. Begitulah kondisi Abu
Ibrahim Woyla ketika kembali ke tengah
keluarganya setelah 4 tahun menghilang,
maka wajar bila secara duniawiyah dalam
kondisi seperti itu sebagian masyarakat
Woyla menganggap Abu Ibrahim Woyla
sudah tidak waras lagi.
5. Ulama Pendiam
Abu Ibrahim Woyla oleh banyak
orang dikenal sebagai ulama agak pendiam
dan ini sudah menjadi bawaannya sewaktu
kecil hingga masa tua. Beliau hanya
berkomunikasi bila ada hal yang perlu
untuk disampaikan sehingga banyak orang
yang tidak berani bertanya terhadap hal-hal
yang terkesan aneh bila dikerjakan Abu
Ibrahim Woyla.
Sikap Abu Ibrahim Woyla seperti itu
sangat dirasakan oleh keluarganya, namun
karena mereka sudah tau sifat dan
pembawaannya demikian, keluarga hanya
bisa pasrah terhadap pilihan jalan hidup
yang ditempuh Abu Ibrahim Woyla yang
terkadang sikap dan tindakannya tidak
masuk akal. Tapi begitulah orang mengenal
sosok Abu Ibrahim Woyla.
6. Dipercaya Sebagai Wali Allah
Bila kita dengar kisah dan cerita
tentang Abu Ibrahim Woyla semasa
hidupnya tak ubah seperti kita
semasa
hidupnya tak ubah seperti kita membaca
kisah para sufi dan ahli tasawuf. Banyak
sekali tindakan yang dikerjakan Abu
Ibrahim Woyla semasa hidupnya yang
terkadang tidak dapat diterima secara
rasional, karena kejadian yang
diperankannya termasuk di luar jangkauan
akal pikiran manusia. Untuk mengenal
perilaku Abu Ibrahim Woyla haruslah
menggunakan pikiran alam lain sehingga
menemukan jawaban apa yang dilakukan
Abu Ibrahim Woyla itu benar adanya.
Itulah keajaiban-keajaiban yang
melekat pada sosok Abu Ibrahim Woyla,
yang oleh sebagian ulama di Aceh menilai
bahwa Abu Ibrahim Woyla adalah seorang
ulama yang sudah mencapai tingkat
waliyullah (wali Allah). Hal itu diakui
Teungku Nasruddin, memang banyak sekali
laporan masyarakat yang diterima keluarga
menceritakan seputar keajaiban kehidupan
Abu Ibrahim Woyla.
Hal ini terbukti semasa hidupnya
Abu Ibrahim Woyla selalu mendatangi
tempat-tempat dimana umat selalu dalam
kesusahan, kegelisahan dan musibah beliau
selalu ada di tengah-tengah masyarakat itu.
Namun orang sulit memahami maksud dan
tujuan Abu Ibrahim Woyla untuk apa
beliau mendatangi tempat-tempat seperti
itu, karena kedatangannya tidak membawa
pesan atau amanah apapun bagi
masyarakat yang didatanginya. Abu
Ibrahim Woyla hanya datang berdoa di
tempat-tempat yang ia datangi, tutur
Teungku Nasruddin.
Dalam hal ini Teungku Muhammad
Kurdi Syam, seorang warga Kayee Unoe,
Calang yang sangat mengenal Abu Ibrahim
Woyla, menceritakan bahwa ketika Abu
Ibrahim Woyla sedang berjalan kaki
terkadang beliau masuk ke sebuah rumah
tertentu milik masyarakat yang
dilewatinya. Ia mengelilingi rumah tersebut
sampai beberapa kali kemudian berhenti
pas di halaman rumah itu dan
menghadapkan dirinya ke arah rumah
tersebut dengan berdzikir “La Ilaha
Illallah” tak berhenti keluar dari mulutnya.
Setelah itu Abu Ibrahim Woyla pergi
meninggalkan rumah itu. Tidak ada yang
tahu makna yang terkandung di balik
semua itu, apakah agar penghuni rumah
itu terhindar dari bahaya yang akan
menimpa mereka atau mendoakan
penghuni rumah itu agar dirahmati Allah?
Wallahu A’lam.
7. Hidup Zuhud
Menurut Teungku Nasruddin, dilihat
dari kehidupannya, Abu Ibrahim Woyla
sepertinya tidak lagi membutuhkan hal-hal
yang bersifat duniawi. Ia mencontohkan,
kalau misalnya Abu Ibrahim Woyla
memiliki uang, uang tersebut bisa habis
dalam sekejap mata dibagikan kepada orang
yang membutuhkan. Biasanya Abu Ibrahim
Woyla membagikan uang itu kepada anak-
anak dalam jumlah yang tidak
diperhitungkan (sama seperti amalan
Rasulullah Saw.). Begitulah kehidupan Abu
Ibrahim Woyla dalam kehidupan sehari-
hari.
Keajaiban lain yang membuat
masyarakat tak habis pikir dan bertanya-
tanya adalah soal kecepatan beliau
melakukan perjalanan kaki yang ternyata
lebih cepat dari kendaraan bermesin.
Memang kebiasaan Abu Ibrahim Woyla
kalau pergi ke mana-mana selalu berjalan
kaki tanpa menggunakan sendal.
Bagi orang yang belum
mengenalnya bisa beranggapan bahwa Abu
Ibrahim Woyla sosok yang tidak normal.
Karena disamping penampilannya yang
tidak rapi, mulutnya terus komat-kamit
mengucapkan dzikir sambil jalan.
Kisah lain diceritakan oleh Affan
Ramli. Setiap kali Abu Ibrahim Woyla
melewati kampungnya, ia bersama kawan-
kawan selalu menghampiri Abu Woyla
untuk mengambil uang yang telah penuh di
saku celananya. Beliau membiarkan
mereka mengambil uang itu berapapun,
boleh diambil semuanya.
Saat itu, mereka kira Abu Woyla
membiarkan uang di sakunya diambil
karena beliau mendapatkannya dari
sedekah masyarakat, bukan dari bekerja.
Masyarakat yang ingin mendapatkan sedikit
keberkatan dari keramat Abu Woyla
berusaha menyedekahkan uang semampu
mereka. “Pemberi sedekah memasukkan
uang ke saku Abu sama seperti kami
mengambilnya, sama-sama tanpa anjuran
dan tanpa larangan dari pemilik saku,
yakni Abu Woyla,” kenang Affan Ramli.
8. Karomah Abu Ibrahim Woyla
Teungku Muhammad Kurdi Syam
menceritakan suatu ketika AbuIbrahim
Woyla sedang jalan kaki di Teunom menuju
Meulaboh (perjalanan yang memakan
waktu 1 atau 2 jam dengan kendaraan
bermotor). Anehnya, Abu Ibrahim Woyla
ternyata duluan sampai di Meulaboh,
padahal yang punya mobil tadi tahu bahwa
tidak ada kendaraan lain yang mendahului
mobilnya. Kejadian ini bukan sekali dua
kali terjadi, malah bagi masyarakat di
pantai barat yang sudah mengganggap
itulah kelebihan sosok ulama keramat Abu
Ibrahim Woyla yang luar biasa tidak
sanggup dinalar oleh pikiran orang biasa.
Karenanya tak heran kalau Abu
Ibrahim Woyla sering berada seperti di
pasar. Misalnya semua pedagang di pasar
itu berharap agar Abu Ibrahim Woyla dapat
singgah di toko mereka. Mereka ingin
mendapatkan berkah Allah melalui
perantaran Abu Ibrahim Woyla. Namun
tidak segampang itu, karena Abu Ibrahim
Woyla punya pilihan sendiri untuk mampir
di suatu tempat.
Seperti yang diceritakan Tgk
Muhammad Kurdi Syam, suatu waktu Abu
Ibrahim Woyla sedang berada di Lamno
Aceh Jaya lalu bertemu dengan seseorang
yang bernama Samsul Bahri yang sedang
bekerja di Abah Awe. Saat itu Abu Ibrahim
Woyla membawa dua potong lemang. Ketika
mampir di situ Abu Ibrahim Woyla
meminta sedikit air. Setelah air itu
diberikan Samsul lalu Abu Ibrahim Woyla
memberikan dua potong lemang tersebut
kepada Samsul. Tapi Samsul menolaknya
karena menurut Samsul bahwa lemang
tersebut adalah sedekah orang yang
diberikan kepada Abu Ibrahim Woyla.
Karena tidak mau diterima Samsul,
lemang itu dibuang Abu Ibrahim Woyla
yang tak jauh dari tempat duduknya.
Kontan saja Samsul tercengang dengan
tindakan Abu Woyla yang membuang
lemang begitu saja. Karena merasa bersalah
lalu Samsul ingin mengambil lemang yang
sudah dibuang tersebut. Namun sayang,
ketika mau diambil lemang itu hilang
secara tiba-tiba.
Dalam kejadian lain, Teungku
Nasruddin menceritakan bahwa suatu
ketika (sebelum Teungku Nasruddin menjadi
menantu Abu Ibrahim Woyla), tiba-tiba di
waktu pagi-pagi Abu Ibrahim Woyla datang
ke almamaternya ke Pesantren Syaikh
Mahmud. Kaki Abu Ibrahim Woyla
kelihatan sedikit pincang sebelah kalau
berjalan. Kedatangan Abu Ibrahim Woyla
disambut Teungku Nasruddin dan teman-
teman sepengajian lainnya.
Lalu Abu Woyla meminta sedikit
nasi untuk sarapan pagi. “Nasinya ada, tapi
tidak ada lauk pauk apa-apa Abu,” kata
Teungku Nasruddin.
“Nggak apa-apa, saya makan pakai
telur saja. Coba lihat dulu di dapur
mungkin masih ada satu telur tersisa,”
jawab Abu Ibrahim Woyla.
Lalu Teungku Nasruddin menuju ke
dapur. Ternyata di tempat yang biasa ia
simpan telur terdapat satu butir telur,
padahal seingatnya tidak ada sisa telur lagi
karena sudah habis dimakan. Lantas sambil
menyuguhkan Nasi kepada Abu Ibrahim
Woyla, Teungku Nasruddin bertanya:
“Kenapa dengan kaki Abu?”
Abu Ibrahim Woyla menjawab:
“Saya baru pulang dari bukit Qaf (Mekkah),
di sana banyak sekali tokonya tapi tidak
ada penjualnya. Namun kalau kita ingin
membeli sesuatu kita harus membayar di
mesin, kalau tidak kita bayar kita akan
ditangkap polisi. Setelah saya belanja di
toko-toko itu lalu saya naik kereta api dan
sangat cepat larinya. Karena saya takut
duduk dalam kereta api itu, maka saya
lompat dan terjatuh hingga membuat kaki
saya sedikit terkilir. Makanya saya agak
pincang, tapi sebentar lagi juga sembuh.”
Kejadian serupa juga dialami oleh
keluarga dekat Abu Ibrahim Woyla sendiri.
Suatu hari Abu mengunjungi salah seorang
saudaranya untuk meminta sedikit nasi
dengan lauk sambel udang belimbing. Lalu
tuan rumah itu mengatakan pada isterinya
untuk menyiapkan nasi dengan sambel
udang belimbing untuk Abu Ibrahim Woyla.
Tapi isterinya memberi tahu bahwa pohon
belimbingnya tidak lagi berbuah: “Baru
kemarin sore saya lihat pohon
belimbingnya lagi tidak ada buahnya,” kata
sang isteri pada suuaminyaTapi suaminya terus mendesak
isterinya: “Coba kamu lihat dulu, kadang
ada barang dua tiga buah sudah cukup
untuk makan Abu.”
Lalu isterinya pergi ke pohon
belakang rumah. Ternyata belimbing itu
memang didapatkan tak lebih dari tiga buah
di pohon yang kemarin sore dilihatnya.
Demikian pula ketika hendak
melangsungkan pernikahan anak pertama
Abu Ibrahim Woyla, yaitu Salmiah.
Masyarakat di kampung melihat sepertinya
Abu Ibrahim Woyla tidak peduli terhadap
acara pernikahan anaknya. Padahal acara
pernikahan itu akan berlangsung beberapa
hari lagi, tapi Abu Ibrahim Woyla tidak
menyiapkan apa-apa untuk menghadapi
acara pernikahan anaknya itu. Bahkan
uang pun tidak beliau kasih pada keluarga
untuk kebutuhan acara tersebut.
Namun ajaibnya pada hari
pernikahan berlangsung, ternyata acara
pernikahan anaknya berlangsung lebih
besar dari pesta-pesta pernikahan orang
lain yang jauh-jauh hari telah
mempersiapkan segala sesuatunya.
Dan masih banyak cerita aneh
lainnya yang tersebar dalam masyarakat
Aceh. Masyarakat awam cenderung
pragmatis, sehingga memahami keunggulan
Abu Woyla lebih banyak dari sisi
keramatnya. Padahal sebenarnya keramat
(karamah) itu hanyalah bonus dari Allah
bagi setiap orang yang gemar riyadhah
spiritual dan berhasil melakukan
perjalanan ruhiyah menuju Ilahi.
9. Pertemuan Abu Ibrahim Woyla dan Gus
Dur
Kisah ini diceritakan langsung oleh
salah satu santri Gus Dur, Ustadz Nuruddin
Hidayat, yang menyaksikan pertemuan Gus
Dur dengan Abu Ibrahim Woyla.
Sebagai tokoh yang dihormati dan
dikagumi banyak orang, rumah Gus Dur tak
pernah sepi dari kunjungan para tamu, baik
dari warga NU, pejabat, politisi, wartawan
dan sebagainya. Gus Dur menerima tamu-
tamunya biasanya dengan pakaian non
formal. Karena kondisi fisiknya yang sudah
lemah, biasanya para tamu diajak
mengobrol sambil tiduran.
“Saya pun merasa terheran-heran
ketika ada tamu, Gus Dur minta untuk
digantikan pakaiannya dengan kain sarung
dan peci, seperti ketika mau shalat Idul
Fitri. Seumur-umur saya belum pernah
melihat Gus Dur seperti itu,” tutur Ustadz
Nuruddun Hidayat.
Rombongan tamu tersebut sampai
ditahan agar tidak masuk rumah dahulu,
sampai Gus Dur dipinjami salah satu sarung
milik santrinya agar bisa cepat berganti
pakaian.
Tamu, yang diketahuinya ternyata
dari Aceh tersebut berpakaian sederhana,
dekil, dan memakai celana seperti yang
biasa dipakai oleh bakul dawet (penjual
dawet). Tamu tersebut diantar oleh aktifitis
Aceh.
Perilaku Gus Dur dan tamunya juga
aneh. Setelah keduanya bersalaman, Gus
Dur pun duduk di karpet, demikian pula
tamunya, tetapi tak ada obrolan di antara
keduanya. Gus Dur tidur, tamunya juga
tidur, suasana menjadi sunyi yang
berlangsung sekitar 15 menit. Setelah sang
tamu bangun, ia langsung pamit pulang, tak
ada pembicaraan.
Karena merasa penasaran, segera
setelah tamu pergi, Santri Nuruddin
Hidayat bertanya kepada Gus Dur: “Pak,
tumben Bapak pakai sarung, ngak biasanya
menerima tamu seperti ini.”
Jawab Gus Dur: “Itu Wali.”
Nuruddin pun kaget dan bertanya:
“Apa ada wali lain seperti beliau Pak?”
“Di sini tidak ada, adanya di Sudan
yang seperti beliau,” jawab Gus Dur.
Ada orang yang menyebutnya sebagai “dewa
tidur”, yang menghabiskan hari-harinya
dengan tidur. Abu Ibrahim Woyla juga bisa
mengetahui perilaku seseorang dan
seringkali orang yang menemui beliau
dibacakan kesalahannya untuk diperbaiki.
Posisi tidur Abu yang dianggap aneh
(melengkung/meukewien), ucapannya sedih
melihat manusia banyak seperti hewan
serta mengatakan dunia ini sudah semakin
sempit.
Gus Dur bertemu kembali dengan
Abu Ibrahim Woyla pada tanggal 09
Muharram, di tahun 2005, tepatnya di
pemakaman masal korban Tsunami Aceh.
Beliaulah yang langsung menjemput Gus
Dur di Bandara Iskandar Muda. Kemudian
keduanya pergi bersama ke pemakaman
masal.
Berada di sebelah kanan Gus Dur
dengan pakian safari putih dan sarung,
beliaulah Abuya Ibrahim Woyla. Beliau
meminta kepada Gusduruntuk mendoakan
para korban. Setelah itu Abuya Ibrahim
Woyla pamit dan menolak bertemu SBY
keesokan harinya yang bertepatan pada
Hari Raya Idul Adha.
10. Abu Ibrahim Woyla dan Tsunami Aceh
Sebelum terjadinya tsunami, Abu
Ibrahim yang pernah mengatakan: “Air laut
bakal naik sampai setinggi pohon kelapa.”
Terbukti setelahnya terjadi bencana
tsunami.
Tepatnya 15 hari sebelum bencana
besar gempa bumi dan gelombang Tsunami
melanda Aceh pada 26 Desember 2004, Abu
Ibrahim Woyla telah mengabarkan kepada
muridnya yang bernama Mukhlis perihal
akan datangnya bencana besar itu.
Namun, hanya kepada dua
muridnya yang kerap mengikutinya ia
beritahukan dan ia melarang
memberitahukannya kepada orang lain.
Hanya saja Mukhlis diperintahkan untuk
segera mengajak keluarganya menjauhi
bibir pantai.
Mukhlis, pria yang sudah berkepala
tiga yang kini sering bermukim di Dayah
Bustanul Huda atau Dayah Pulo Ie, Desa
Dayah Baro, Calang, menceritakan kembali
keseharian Abu sebelum Tsunami
meluluhlantakkan Aceh. Abu tidak seperti
hari-hari sebelumnya, ia sudah jarang
makan dan terlihat gusar. Pernah suatu
waktu Mukhlis dipanggil oleh Abu untuk
memberitahukan perihal bencana besar.
Saat itu, Mukhlis masih menuntut ilmu di
Dayah Peulanteu, Aceh Barat. “Rayeuk that
buet uke nyoe, siberangkaso yang buka
rahasia Allah maka kafee lah jih kafee
(besar sekali kerja ke depan, dan siapa saja
yang membuka rahasia Allah maka dia
kafir),” begitu kata Mukhlis menirukan
ucapan Abu Ibrahim kepadanya.
Mukhlis juga mendengar hal yang
sama dari Abu Utsman yang masih ada
hubungan dekat dengan Abu Ibrahim
Woyla. Bahkan kepada orangtuanya sendiri
Mukhlis tidak memberitahukan apa yang
sudah ia ketahui. “Di lapangan Blang
Bintang kapai akan jipoe uroe malam, di
laot Ulee Lheuh (tidak disebut Ulee Lheue)
akan na kapai laot ubee lapangan bola,
dalam kapai nyan ureung puteh-puteh” (di
Bandara Blang Bintang pesawat akan
terbang siang malam, di laut Ulee Lhee
akan ada kapal laut sebesar lapangan bola,
di dalamnya orang putih-putih-red), ucap
Mukhlis lagi mengutip perkataan Abu
Utsman.
Kata Mukhlis, sejak kata-kata
tersebut diucapkan oleh Abu Ibrahim,
keseharian Abu seperti berubah. Bahkan
jika sedang tidur malam hari, sering Abu
tiba-tiba terbangun dan langsung duduk
berdzikir. Melihat ini, perasaan Mukhlis
pun semakin cemas, dalam hatinya ia
merasa kalau peristiwa besar sudah
semakin dekat. “Lon kalon dari sikap Abu,
lon na firasat sang ata yang geupeugah le
Abu ka to that (Saya lihat sikap Abu, saya
punya firasat bahwa apa yang dikatakan
Abu sudah sangat dekat),” jelas Mukhlis.
Entah apa yang terpikirkan oleh
Abu, 4 hari sebelum gempa bumi dan
Tsunami di Aceh, Abu Ibrahim mengajak
Mukhlis ke Banda Aceh. Dengan mobil
pinjaman, Mukhlis menyupiri Abu hingga
ke Banda Aceh. Di Banda Aceh, mereka
menginap di salah satu rumah di kawasan
Blower. “Na geulakee le po rumoh beu
geuteem eh Abu meusimalam bak rumoh
gob nyan (ada permintaan dari yang punya
rumah agar Abu Ibrahim berkenan
bermalam semalam saja di rumahnya),”
kata Mukhlis.
Mukhlis menambahkan, saat di
sana, sewaktu makan pun Abu tidak makan
lagi, Abu mengepal nasinya menjadi tiga
bagian. Setelah Abu makan sedikit satu
bagian dari kepalan nasinya, kemudian
seluruhnya Abu berikan kepadanya untuk
dimakan.
Pada esoknya, Kamis pagi 23
Desember 2006, Abu berkata kepada
Mukhlis jika ia ingin jalan-jalan keliling
Kota Banda Aceh. Tanpa membantah,
dengan mobil pinjamannya Mukhlis pun
membawa Abu jalan-jalan.
Setelah sarapan alakadarnya di
warung samping Simbun Sibreh (deretan
Satnarkoba Polda Aceh), lalu Abu meminta
Mukhlis untuk membawanya ke kawasan
Peulanggahan. Tiba di depan mesjid Tgk Di
Anjong, Abu minta mobil dihentikan di luar
pagar masjid. “Abu geu ngeing u arah
makam Tgk Di Anjong, sang-sang Abu
teungoh geupeugah haba, kadang Abu
teukhem keudroe” (Abu menatap ke arah
makam Tgk Di Anjong,seolah-olah Abu
berbicara, sesekali Abu tersenyum sendiri),
jelas Mukhlis.
Usai singgah di makam Tgk Di
Anjong, Peulanggahan, Kecamatan Kutaraja,
Banda Aceh, Abu melanjutkan perjalanan
ke arah Gampong Jawa. Saat dalam
perjalanan, ada seorang wanita paruh baya
yang mengenal Abu. Spontan wanita
tersebut memanggil Abu dan meminta Abu
untuk singgah di rumahnya. Rombongan
Abu Woyla kemudian memenuhi permitaan
dan singgah di rumah wanita tersebut.
Wanita pemilik rumah itu, kata
Mukhlis, menginginkan anaknya untuk
minum air yang dicelupkan dengan
musabah Abu Ibrahim. “Sampai di rumah
wanita tersebut, kami disajikan kopi, tetapi
airnya sangat panas hingga kami tidak
sempat minum. Tapi Abu langsung
meminumnya walau airnya masih panas.
Setelah itu Abu menyelupkan musabahnya
ke dalam air yang akan diberikan kepada
anak wanita tersebut,” kata Mukhlis.
Tak beberapa lama di rumah wanita
itu, Abu dan Mukhlis kemudian
melanjutkan perjalanan dari Gampong
Jawa dan kembali ke arah Peunayong,
seterusnya sampai di depan RSUZA, Jalan T
Nyak Arief. Di tempat itu Abu Ibrahim
kemudian meminta kepada Mukhlis untuk
mengarahkan kenderaan mereka ke Masjid
Raya Baiturrahman.
Dalam sekejap saja, mobil yang
dikendarai Mukhlis sudah berada di depan
Mesjid Raya Baiturrahman. Di sana mobil
dihentikan sesuai permintaan Abu. Dari
dalam mobil, dengan kaca terbuka Abu
menatap ke arah mesjid sembari
melambaikan tangannya dengan gerakan
arah telapak tangannya ke bawah. “Berkali-
kali Abu melakukan itu,” ujar Mukhlis.
“Di akhir Abu menggerakkan
tangannya tiga kali menghadap masjid raya,
seperti tanda memotong sesuatu,” tiru
Mukhlis dengan gerakan tangannya dari
arah kiri ke kanan.
Usai perjalanan singkat tersebut,
Abu langsung kembali ke tempat ia
menginap dan mengatakan kepada Mukhlis,
jika Abu malam nanti akan berangkat ke
Padang, Sumatra Barat. Sebelum berangkat,
Mukhlis memohon izin kepada Abu bahwa
ia tidak bisa menemani Abu ke Padang
karena ia baru berkeluarga. “Menyoe
meunan Do’a bak lon” (kalau begitu doa
dari saya), ujar Mukhlis mengulang
perkataan Abu kepadanya kala itu.
Dua hari setelahnya, Tsunami
meluluhlantakkan Aceh begitu dahsyatnya.
Namun kata Mukhlis, gelombang Tsunami
yang datang pada 26 Desember 2004 lalu
itu, sepertinya berhenti di seputaran
kawasan Abu Ibrahim Woyla jalan-jalan di
Banda Aceh sebelum Tsunami itu terjadi.
Setelah itu, Mukhlis pun tidak lagi
mengetahui kegiatan Abu hingga gempa
bumi dan Tsunami melanda Aceh. Baru
pada hari keempat setelah kejadian yang
menewaskan ratusan ribu umat manusia
itu, Mukhlis bertemu kembali dengan Abu
di salah satu rumah di kawasan Geuceu
Komplek, Banda Aceh.
Setelah bertemu di sana, pada sore
hari Abu mengajak Mukhlis jalan-jalan ke
Lhoknga. Kembali Mukhlis meminjam
sebuah mobil milik kerabatnya yang juga
mengenal Abu Ibrahim Woyla. Setibanya di
kawasan Peukan Bada, Mukhlis melihat
tumpukan sampah Tsunami yang belum
dibersihkan dan masih ada mayat-mayat
bergeletakan di sekitar mereka.
Melihat kondisi medan yang tidak
mungkin dilewati, Mukhlis mengadu kepada
Abu jika tidak mungkin mobil melewati
jalan, karena masih banyak puing Tsunami
dan benda tajam lain yang menghambat
laju kenderaan mereka. “Hana peu-peu,
tajak laju” (tidak masalah, jalan saja),
begitu kata Abu ujar Mukhlis saat ia
mengadu.
Mendengar kata Abu, Mukhlis pun
terus mengendarai kendaraannya melewati
puing Tsunami yang logikanya tidak
mungkin dilewati oleh kendaraan. Mereka
terus berjalan hingga ke jembatan yang
terputus di kawasan Lhoknga, Aceh Besar.
Setiba di sana, mereka berjumpa
dengan seorang wanita yang mengenal
sosok Abu Ibrahim Woyla. Wanita itu
menceritakan, dalam musibah itu suaminya
menjadi korban dan sampai hari keempat
setelah Tsunami ia belum bertemu dan
mengetahui nasib suaminya itu. Lantas
wanita itu meminta Mukhlis untuk
menanyakan kepada Abu Ibrahim,
bagaimana perihal nasib suaminya yang
diseret arus Tsunami.Melalui Mukhlis, Abu menjawab
singkat pertanyaan wanita tersebut:
“Suaminya sedang jalan-jalan jauh.”
Di tempat itu, Abu Ibrahim bersama
Mukhlis berada hingga langit mulai merah
dan matahari akan tenggelam.
Kini, Mukhlis dengan beberapa
rekannya hanya mengurusi dan
membangun Dayah Bustanul Huda
Gampong Dayah Baro di Kabupaten Aceh
Jaya. Penuturan lelaki ramah dan berilmu
agama ini, Dayah tempat dirinya dan santri
lain memperdalam ilmu Islam sekarang ini,
dibagun pada tahun 2006 silam. Dan pesan
Abu Ibrahim Woyla semasa hidupnya
adalah: “Amanah Abu, bek meulake bak gop
keu peudong dayah, peulaku ubee
sangguop” (Amanah Abu, jangan meminta-
minta untuk mendirikan dayah, kerjakan
sesuai kesanggupan), tegas Mukhlis
menirukan ucapan Abu.
11. Kewafatan Abu Ibrahim Woyla
Belum pernah terjadi dalam sejarah
di Woyla (Aceh Barat) bila seseorang
meninggal ribuan orang datang melayat
(takziah) kecuali pada waktu wafatnya Abu
Ibrahim Woyla. Selama hampir 30 hari
meninggalnya Abu Ibrahim Woyla
masyarakat Aceh berduyun-duyun datang
melayat ke kampung Pasi Aceh, Kecamatan
Woyla Induk, Aceh Barat sebagai tempat
peristirahatan terakhir Abu Ibrahim Woyla.
Selama 30 hari itu ribuan orang
setiap hari tak kunjung henti datang
menyampaikan duka cita mendalam atas
wafatnya Abu Ibrahim Woyla, sehingga
pihak keluarga menyediakan 400 kotak air
mineral gelas dan 3 ekor lembu setiap hari
dari sumbangan mantan Gubernur Aceh
Irwandi Yusuf untuk menjamu para tamu
yang datang silih berganti ke tempat
wafatnya Abu Ibrahim Woyla. Begitulah
pengaruh ke-ulama-an Abu Ibrahim Woyla
dalam pandangan masyarakat Aceh,
terutama di wilayah Aceh Barat dan Aceh
Selatan.
Beliau berpulang ke Rahmatullah
pada hari Sabtu pukul 16.00 WIB tanggal 18
Juli 2009 di rumah anaknya di Pasi Aceh
Kecamatan Woyla Induk, Kabupaten Aceh
Barat dalam usia 90 tahun.
Peneliti LKAS Banda Aceh pernah
berziarah ke makan beliau pada bulan
April 2010. Melihat makam yang dijaga
oleh anak tertuanya, banyak sekali
diziarahi oleh masyarakat. Namun pihak
keluarga sangat hati-hati dan berpesan
pada penziarah agar makan Abu Ibrahim
Woyla tidak dijadikan tempat pemujaan.
Begitulah sebagian dari perjalanan
riwayat hidup seorang ulama wali Allah,
Abu Ibrahim Woyla, yang sulit dicari
penggantinya di Aceh sekarang ini.
12. Kuburan Abu Ibrahim Woyla Digandakan
Berdasarkan informasi dari
tribunnews, pihak keluarga almarhum Abu
Ibrahim Woyla memprotes terhadap
penggandaan kuburan di tiga lokasi di
Kecamatan Bubon, Aceh Barat, oleh seorang
ulama di wilayah itu. Padahal, jasad
almarhum sudah dikebumikan di Desa Pasi
Aceh, Kecamatan Woyla. Karena itu, pihak
keluarga meminta Majelis Permusyaratan
Ulama (MPU) segera menyelesaikan
masalah tersebut, sebelum pihak keluarga
turun tangan.
Mohd Miswar didampingi Tgk Zul
Zamzami dari keluarga almarhum Ibrahim
Woyla kepada Serambi, mengatakan,
penggandaan kuburan Abu Ibrahim Woyla
hingga menjadi tiga lokasi oleh seorang
ulama sangat meresahkan pihak keluarga
besar almarhum Abu Ibrahim Wolya.
Sebab, kuburan Abu Ibrahim adalah di Desa
Pasie Aceh, Kecamatan Woyla. Sedangkan
dua kuburan lain yang menurut keluarga
Abu Ibrahim adalah kuburan palsu, yakni
di Desa Peulante dan Desa Blang Sibeutong
Kecamatan Bubon.
“Pihak keluarga sudah melihat
langsung kedua keburan tersebut. Ini benar-
benar bisa menyesatkan umat, karena itu
kami mengharapkan agar MPU segera
menyelesaikan masalah tersebut, sebelum
pihak keluarga Abu Ibrahim turun tangan,”
tegas Miswar yang juga mantan anggota
DPRK Aceh Barat tersebut.
Ditegaskan Miswar, almarhum Abu
Ibrahim dikebumikan di Desa Pasi Aceh
Kecamatan Woyla yang merupakan desa
tempat kelahirannya dan tidak dikebumikan
di dearah lain. Menurut Miswar, jika
masalah itu tidak segera diselesaikan oleh
pihak MPU, dikhawatirkan bisa
menyesatkan masyarakat. Sebab, ujar
Miswar, dalam agama Islam tidak boleh
kuburan seseorang ada tiga buah, karena 
jasad manusia pun cuma satu. 
Ketua MPU Aceh Barat, Teungku 
Abdurrani yang dikonfirmasi Serambi 
Jum’at mengakui telah mendapatkan 
laporan mengenai penggandaan kuburan 
tersebut. “Informasi itu memang sudah 
kami terima, dan yang kita sayangkan 
justru yang melakukan penggandaan 
kuburan itu seorang ulama di wilayah itu,” 
ujar Abdurrani. 
Teungku Abdurrani juga menyebutkan, 
dalam syariat tidak boleh digandakan 
kuburan. Karena itu, Ketua MPU Aceh 
Barat itu berjanji segera bermusyawarah 
dengan ulama tersebut guna menyelesaikan
masalah penggandaan kuburan itu.
                     ABUDAN
saya kutib isi blog ini dari :HABIB TUANKU KHAIRULLAH