ABU IBRAHIM WOYLA
:ABU IBRAHIM BIN TGK SULAIMAN BIN TGK HUSEN:::
WALI ALLAH
Keramat atau dipanggilnya dengan
sebutan “Tgk Beurahim Wayla”. Tokoh ini
merupakan orang yang sangat dihormati di
Aceh dan dipercaya sering menunaikan shalat
Jum’at di Makkah dan kembali pada hari itu
juga.
Daftar Isi:
1. Kelahiran Abu Ibrahim Woyla
2. Masa Belajar Abu Ibrahim Woyla
3. Keluarga Abu Ibrahim Woyla
4. Ulama Pengembara
5. Ulama Pendiam
6. Dipercaya Sebagai Wali Allah
7. Hidup Zuhud
8. Karomah Abu Ibrahim Woyla
9. Pertemuan Abu Ibrahim Woyla dan
Gus Dur
10Abu Ibrahim Woyla dan Tsunami
Aceh
11Kewafatan Abu Ibrahim Woyla
12Kuburan Abu Ibrahim Woyla
Digandakan.
* Kelahiran Abu Ibrahim Woyla
Abu Ibrahim Woyla yang bernama
lengkap Teungku Ibrahim bin Teungku
Sulaiman bin Teungku Husen dilahirkan di
kampung Pasi Aceh, Kecamatan Woyla,
Kabupaten Aceh Barat pada tahun 1919 M.
Mukhlis, salah satu santri
kepercayaan Abu Ibrahim Woyla, ditengarai
mengetahui persis garis keturunan Abu
Ibrahim Woyla. Awalnya garis ke atas
keturunan Abu Ibrahim Woyla yang berasal
dari Negeri Baghdad berjumlah tujuh orang
datang ke Tanah Aceh, persisnya berlabuh
di Aceh Barat. Kemudian, ketujuhnya
berpisah ke beberapa daerah di Aceh dan di
luar Aceh untuk menyebarkan agama Islam.
* Masa Belajar Abu Ibrahim Woyla
Menurut riwayat, pendidikan
formal Abu Ibrahim Woyla hanya sempat
menamatkan Sekolah Rakyat (SR),
selebihnya menempuh pendidikan Dayah
(pesantren tradisional/salafiyyah) selama
hampir 25 tahun. Sehingga dalam sejarah
masa hidupnya Abu Ibrahim Woyla pernah
belajar 12 tahun pada Syaikh Mahmud
seorang ulama asal Lhok Nga Aceh Besar
yang kemudian mendirikan Dayah Bustanul
Huda di Blang Pidie Aceh Barat. Diantara
murid Syaikh Mahmud ini selain Abu
Ibrahim Woyla juga Syaikh Muda Waly al-
Khalidy yang kemudian sebagai seorang
ulama Thariqah Naqsyabandiyah tersohor
di Aceh.
Menurut keterangan, Syaikh Muda
Waly hanya sempat belajar pada Syaikh
Mahmud sekitar 4 tahun, kemudian pindah
ke Aceh Besar dan belajar pada Abu Haji
Hasan Krueng Kale selama 2 tahun. Setelah
itu Syaikh Muda Waly pindah ke Padang
dan belajar pada Syaikh Jamil Jaho Padang
Panjang. Dua tahun di Padang Syaikh Muda
Waly melanjutkan pendidikan ke Mekkah
atas kiriman Syaikh Jamil Jaho. Setelah 2
tahun di Mekkah kemudian Syaikh Muda
Waly kembali ke Blang Pidie dan
melanjutkan mendirikan pesantren
tradisional di Labuhan Haji Aceh Selatan.
Saat itulah Abu Ibrahim Woyla
sudah mengetahui bahwa Syaikh Muda
Waly telah kembali dari Mekkah dan
mendirikan pesantren, maka Abu Ibrahim
Woyla kembali belajar pada Syaikh Muda
Waly untuk memperdalam ilmu Thariqah
Naqsyabandiyah. Namun sebelum itu Abu
Ibrahim Woyla pernah belajar pada Abu
Calang (Syaikh Muhammad Arsyad) dan
Teungku Bilyatin (Suak) bersama rekan
seangkatannya yaitu Abu Adnan Bakongan.
Setelah lebih kurang 2 tahun
memperdalam ilmu thariqah pada Syaikh
Muda Waly, Abu Ibrahim Woyla kembali ke
kampung halamannya. Tapi tak lama
setelah itu Abu Ibrahim Woyla mulai
mengembara yang dimana keluarga sendiri
tidak mengetahui ke mana Abu Ibrahim
Woyla pergi mengembara.
* Keluarga Abu Ibrahim Woyla
Abu Ibrahim Woyla memiliki dua
orang isteri. Isteri pertama bernama Rukiah
dan dikaruniai 3 orang anak, 1 laki-laki
dan 2 perempuan, bernama Salmiah,
Hayatun Nufus dan Zulkifli. Sementara
isteri keduanya dinikahi di Peulantee, Aceh
Barat, dua tahun sebelum beliau meninggal,
dan tidak dikaruniai anak.
Menurut cerita, tatkala isteri
pertamanya hamil 6 bulan (hamil yang
pertama), kondisi Abu Ibrahim Woyla saat
itu seperti tidak stabil.
Sehingga beliau
mengatakan pada isterinya: “Saya mau
belah perut kamu untuk melihat anak kita.”
Hal itu membuat keluarganya tak
habis pikir terhadap apa yang diucapkan
Abu Ibrahim Woyla pada isterinya itu.
Karena perkataan seperti itu dianggap
perkataan yang sudah di luar akal sehat.
Para keluarga dengan cemas mengatakan
tidak tahu apa yang dimaksudkan oleh Abu
Ibrahim Woyla yang meminta untuk
membelah perut isterinya yang sedang
mengandung 6 bulan. Meskipun begitu,
perkataan yang pernah diucapkan itu tak
pernah dilakukannya.
Pada tahun 1954 sebenarnya tahun
yang sangat membahagiakan bagi pasangan
suami-isteri tersebut. Karena pada tahun
itu lahirlah anak pertama dari pasangan
Abu Ibrahim Woyla dan Ummi Rukiah.
Akan tetapi kehadiran seorang anak
pertama itu bagi Abu Ibrahim Woyla
bukanlah sesuatu yang istimewa. Abu
Ibrahim Woyla saat itu hanya pulang
sebentar menjenguk anaknya yang baru
lahir, kemudian beliau pergi kembali
mengembara entah ke mana.
Ketika anak pertamanya yang diberi
nama Salmiah sudah besar, menurut cerita
Teungku Nasruddin, barulah kondisi Abu
Ibrahim Woyla kembali normal hidup
bersama keluarganya. Dan saat itu Abu
Ibrahim Woyla sempat membuka lahan
perkebunan di Suwak Trieng untuk menjadi
harta yang ditinggalkan untuk keluarganya
di kemudian hari.
Pada saat itu kehidupan Abu
Ibrahim Woyla bersama keluarganya sudah
sangat harmonis hingga lahir anak kedua,
Hayatun Nufus dan anaknya yang ketiga
Zulkifli. Semua keluarganya sangat
bersyukur karena Abu Ibrahim Woyla telah
tinggal bersama keluarganya.
Namun apa mau dikata, tak lama
setelah lahir anaknya yang ketiga Abu
Ibrahim Woyla kembali meninggalkan
keluarganya dan entah ke mana. Sehingga
Ummi Rukiah tidak tahan lagi dengan
ketidakpedulian Abu Ibrahim Woyla
terhadap nafkah keluarganya, isterinya
minta untuk pulang ke Blang Pidie daerah
asalnya.
Alasan isterinya untuk pulang ke
Blang Pidie memang tepat, karena
menurutnya Abu Ibrahim Woyla tidak lagi
peduli kepada keluarga, beliau hanya asyik
berzikir sendiri dan pergi ke mana beliau
suka. Akan tetapi, keinginan Ummi Rukiah
untuk kembali ke Blang Pidie tidak
terwujud karena Allah mempersatukan
kembali Abu Ibrahim Woyla dan isterinya
sampai akhir hayatnya.
4. Ulama Pengembara
Menurut riwayat dari Teungku
Nasruddin (menantu Abu Ibrahim Woyla)
semasa hidupnya Abu Ibrahim Woyla
pernah menghilang dari keluarga selama 3
kali; selama 2 bulan, 2 tahun dan 4 tahun,
yang tidak diketahui ke mana perginya.
Dalam kali terakhir inilah Abu Ibrahim
Woyla kembali pada keluarganya di Pasi
Aceh.
Pihak keluarga tidak habis pikir
pada perubahan yang terjadi pada Abu
Ibrahim Woyla. Rambut dan jenggotnya
sudah demikian panjang tak terurus,
pakaiannya sudah compang-camping dan
kukunya panjang seadanya. Mungkin bisa
kita bayangkan seseorang yang menghilang
selama 4 tahun dan tak sempat untuk
mengurus dirinya. Begitulah kondisi Abu
Ibrahim Woyla ketika kembali ke tengah
keluarganya setelah 4 tahun menghilang,
maka wajar bila secara duniawiyah dalam
kondisi seperti itu sebagian masyarakat
Woyla menganggap Abu Ibrahim Woyla
sudah tidak waras lagi.
5. Ulama Pendiam
Abu Ibrahim Woyla oleh banyak
orang dikenal sebagai ulama agak pendiam
dan ini sudah menjadi bawaannya sewaktu
kecil hingga masa tua. Beliau hanya
berkomunikasi bila ada hal yang perlu
untuk disampaikan sehingga banyak orang
yang tidak berani bertanya terhadap hal-hal
yang terkesan aneh bila dikerjakan Abu
Ibrahim Woyla.
Sikap Abu Ibrahim Woyla seperti itu
sangat dirasakan oleh keluarganya, namun
karena mereka sudah tau sifat dan
pembawaannya demikian, keluarga hanya
bisa pasrah terhadap pilihan jalan hidup
yang ditempuh Abu Ibrahim Woyla yang
terkadang sikap dan tindakannya tidak
masuk akal. Tapi begitulah orang mengenal
sosok Abu Ibrahim Woyla.
6. Dipercaya Sebagai Wali Allah
Bila kita dengar kisah dan cerita
tentang Abu Ibrahim Woyla semasa
hidupnya tak ubah seperti kita
semasa
hidupnya tak ubah seperti kita membaca
kisah para sufi dan ahli tasawuf. Banyak
sekali tindakan yang dikerjakan Abu
Ibrahim Woyla semasa hidupnya yang
terkadang tidak dapat diterima secara
rasional, karena kejadian yang
diperankannya termasuk di luar jangkauan
akal pikiran manusia. Untuk mengenal
perilaku Abu Ibrahim Woyla haruslah
menggunakan pikiran alam lain sehingga
menemukan jawaban apa yang dilakukan
Abu Ibrahim Woyla itu benar adanya.
Itulah keajaiban-keajaiban yang
melekat pada sosok Abu Ibrahim Woyla,
yang oleh sebagian ulama di Aceh menilai
bahwa Abu Ibrahim Woyla adalah seorang
ulama yang sudah mencapai tingkat
waliyullah (wali Allah). Hal itu diakui
Teungku Nasruddin, memang banyak sekali
laporan masyarakat yang diterima keluarga
menceritakan seputar keajaiban kehidupan
Abu Ibrahim Woyla.
Hal ini terbukti semasa hidupnya
Abu Ibrahim Woyla selalu mendatangi
tempat-tempat dimana umat selalu dalam
kesusahan, kegelisahan dan musibah beliau
selalu ada di tengah-tengah masyarakat itu.
Namun orang sulit memahami maksud dan
tujuan Abu Ibrahim Woyla untuk apa
beliau mendatangi tempat-tempat seperti
itu, karena kedatangannya tidak membawa
pesan atau amanah apapun bagi
masyarakat yang didatanginya. Abu
Ibrahim Woyla hanya datang berdoa di
tempat-tempat yang ia datangi, tutur
Teungku Nasruddin.
Dalam hal ini Teungku Muhammad
Kurdi Syam, seorang warga Kayee Unoe,
Calang yang sangat mengenal Abu Ibrahim
Woyla, menceritakan bahwa ketika Abu
Ibrahim Woyla sedang berjalan kaki
terkadang beliau masuk ke sebuah rumah
tertentu milik masyarakat yang
dilewatinya. Ia mengelilingi rumah tersebut
sampai beberapa kali kemudian berhenti
pas di halaman rumah itu dan
menghadapkan dirinya ke arah rumah
tersebut dengan berdzikir “La Ilaha
Illallah” tak berhenti keluar dari mulutnya.
Setelah itu Abu Ibrahim Woyla pergi
meninggalkan rumah itu. Tidak ada yang
tahu makna yang terkandung di balik
semua itu, apakah agar penghuni rumah
itu terhindar dari bahaya yang akan
menimpa mereka atau mendoakan
penghuni rumah itu agar dirahmati Allah?
Wallahu A’lam.
7. Hidup Zuhud
Menurut Teungku Nasruddin, dilihat
dari kehidupannya, Abu Ibrahim Woyla
sepertinya tidak lagi membutuhkan hal-hal
yang bersifat duniawi. Ia mencontohkan,
kalau misalnya Abu Ibrahim Woyla
memiliki uang, uang tersebut bisa habis
dalam sekejap mata dibagikan kepada orang
yang membutuhkan. Biasanya Abu Ibrahim
Woyla membagikan uang itu kepada anak-
anak dalam jumlah yang tidak
diperhitungkan (sama seperti amalan
Rasulullah Saw.). Begitulah kehidupan Abu
Ibrahim Woyla dalam kehidupan sehari-
hari.
Keajaiban lain yang membuat
masyarakat tak habis pikir dan bertanya-
tanya adalah soal kecepatan beliau
melakukan perjalanan kaki yang ternyata
lebih cepat dari kendaraan bermesin.
Memang kebiasaan Abu Ibrahim Woyla
kalau pergi ke mana-mana selalu berjalan
kaki tanpa menggunakan sendal.
Bagi orang yang belum
mengenalnya bisa beranggapan bahwa Abu
Ibrahim Woyla sosok yang tidak normal.
Karena disamping penampilannya yang
tidak rapi, mulutnya terus komat-kamit
mengucapkan dzikir sambil jalan.
Kisah lain diceritakan oleh Affan
Ramli. Setiap kali Abu Ibrahim Woyla
melewati kampungnya, ia bersama kawan-
kawan selalu menghampiri Abu Woyla
untuk mengambil uang yang telah penuh di
saku celananya. Beliau membiarkan
mereka mengambil uang itu berapapun,
boleh diambil semuanya.
Saat itu, mereka kira Abu Woyla
membiarkan uang di sakunya diambil
karena beliau mendapatkannya dari
sedekah masyarakat, bukan dari bekerja.
Masyarakat yang ingin mendapatkan sedikit
keberkatan dari keramat Abu Woyla
berusaha menyedekahkan uang semampu
mereka. “Pemberi sedekah memasukkan
uang ke saku Abu sama seperti kami
mengambilnya, sama-sama tanpa anjuran
dan tanpa larangan dari pemilik saku,
yakni Abu Woyla,” kenang Affan Ramli.
8. Karomah Abu Ibrahim Woyla
Teungku Muhammad Kurdi Syam
menceritakan suatu ketika AbuIbrahim
Woyla sedang jalan kaki di Teunom menuju
Meulaboh (perjalanan yang memakan
waktu 1 atau 2 jam dengan kendaraan
bermotor). Anehnya, Abu Ibrahim Woyla
ternyata duluan sampai di Meulaboh,
padahal yang punya mobil tadi tahu bahwa
tidak ada kendaraan lain yang mendahului
mobilnya. Kejadian ini bukan sekali dua
kali terjadi, malah bagi masyarakat di
pantai barat yang sudah mengganggap
itulah kelebihan sosok ulama keramat Abu
Ibrahim Woyla yang luar biasa tidak
sanggup dinalar oleh pikiran orang biasa.
Karenanya tak heran kalau Abu
Ibrahim Woyla sering berada seperti di
pasar. Misalnya semua pedagang di pasar
itu berharap agar Abu Ibrahim Woyla dapat
singgah di toko mereka. Mereka ingin
mendapatkan berkah Allah melalui
perantaran Abu Ibrahim Woyla. Namun
tidak segampang itu, karena Abu Ibrahim
Woyla punya pilihan sendiri untuk mampir
di suatu tempat.
Seperti yang diceritakan Tgk
Muhammad Kurdi Syam, suatu waktu Abu
Ibrahim Woyla sedang berada di Lamno
Aceh Jaya lalu bertemu dengan seseorang
yang bernama Samsul Bahri yang sedang
bekerja di Abah Awe. Saat itu Abu Ibrahim
Woyla membawa dua potong lemang. Ketika
mampir di situ Abu Ibrahim Woyla
meminta sedikit air. Setelah air itu
diberikan Samsul lalu Abu Ibrahim Woyla
memberikan dua potong lemang tersebut
kepada Samsul. Tapi Samsul menolaknya
karena menurut Samsul bahwa lemang
tersebut adalah sedekah orang yang
diberikan kepada Abu Ibrahim Woyla.
Karena tidak mau diterima Samsul,
lemang itu dibuang Abu Ibrahim Woyla
yang tak jauh dari tempat duduknya.
Kontan saja Samsul tercengang dengan
tindakan Abu Woyla yang membuang
lemang begitu saja. Karena merasa bersalah
lalu Samsul ingin mengambil lemang yang
sudah dibuang tersebut. Namun sayang,
ketika mau diambil lemang itu hilang
secara tiba-tiba.
Dalam kejadian lain, Teungku
Nasruddin menceritakan bahwa suatu
ketika (sebelum Teungku Nasruddin menjadi
menantu Abu Ibrahim Woyla), tiba-tiba di
waktu pagi-pagi Abu Ibrahim Woyla datang
ke almamaternya ke Pesantren Syaikh
Mahmud. Kaki Abu Ibrahim Woyla
kelihatan sedikit pincang sebelah kalau
berjalan. Kedatangan Abu Ibrahim Woyla
disambut Teungku Nasruddin dan teman-
teman sepengajian lainnya.
Lalu Abu Woyla meminta sedikit
nasi untuk sarapan pagi. “Nasinya ada, tapi
tidak ada lauk pauk apa-apa Abu,” kata
Teungku Nasruddin.
“Nggak apa-apa, saya makan pakai
telur saja. Coba lihat dulu di dapur
mungkin masih ada satu telur tersisa,”
jawab Abu Ibrahim Woyla.
Lalu Teungku Nasruddin menuju ke
dapur. Ternyata di tempat yang biasa ia
simpan telur terdapat satu butir telur,
padahal seingatnya tidak ada sisa telur lagi
karena sudah habis dimakan. Lantas sambil
menyuguhkan Nasi kepada Abu Ibrahim
Woyla, Teungku Nasruddin bertanya:
“Kenapa dengan kaki Abu?”
Abu Ibrahim Woyla menjawab:
“Saya baru pulang dari bukit Qaf (Mekkah),
di sana banyak sekali tokonya tapi tidak
ada penjualnya. Namun kalau kita ingin
membeli sesuatu kita harus membayar di
mesin, kalau tidak kita bayar kita akan
ditangkap polisi. Setelah saya belanja di
toko-toko itu lalu saya naik kereta api dan
sangat cepat larinya. Karena saya takut
duduk dalam kereta api itu, maka saya
lompat dan terjatuh hingga membuat kaki
saya sedikit terkilir. Makanya saya agak
pincang, tapi sebentar lagi juga sembuh.”
Kejadian serupa juga dialami oleh
keluarga dekat Abu Ibrahim Woyla sendiri.
Suatu hari Abu mengunjungi salah seorang
saudaranya untuk meminta sedikit nasi
dengan lauk sambel udang belimbing. Lalu
tuan rumah itu mengatakan pada isterinya
untuk menyiapkan nasi dengan sambel
udang belimbing untuk Abu Ibrahim Woyla.
Tapi isterinya memberi tahu bahwa pohon
belimbingnya tidak lagi berbuah: “Baru
kemarin sore saya lihat pohon
belimbingnya lagi tidak ada buahnya,” kata
sang isteri pada suuaminyaTapi suaminya terus mendesak
isterinya: “Coba kamu lihat dulu, kadang
ada barang dua tiga buah sudah cukup
untuk makan Abu.”
Lalu isterinya pergi ke pohon
belakang rumah. Ternyata belimbing itu
memang didapatkan tak lebih dari tiga buah
di pohon yang kemarin sore dilihatnya.
Demikian pula ketika hendak
melangsungkan pernikahan anak pertama
Abu Ibrahim Woyla, yaitu Salmiah.
Masyarakat di kampung melihat sepertinya
Abu Ibrahim Woyla tidak peduli terhadap
acara pernikahan anaknya. Padahal acara
pernikahan itu akan berlangsung beberapa
hari lagi, tapi Abu Ibrahim Woyla tidak
menyiapkan apa-apa untuk menghadapi
acara pernikahan anaknya itu. Bahkan
uang pun tidak beliau kasih pada keluarga
untuk kebutuhan acara tersebut.
Namun ajaibnya pada hari
pernikahan berlangsung, ternyata acara
pernikahan anaknya berlangsung lebih
besar dari pesta-pesta pernikahan orang
lain yang jauh-jauh hari telah
mempersiapkan segala sesuatunya.
Dan masih banyak cerita aneh
lainnya yang tersebar dalam masyarakat
Aceh. Masyarakat awam cenderung
pragmatis, sehingga memahami keunggulan
Abu Woyla lebih banyak dari sisi
keramatnya. Padahal sebenarnya keramat
(karamah) itu hanyalah bonus dari Allah
bagi setiap orang yang gemar riyadhah
spiritual dan berhasil melakukan
perjalanan ruhiyah menuju Ilahi.
9. Pertemuan Abu Ibrahim Woyla dan Gus
Dur
Kisah ini diceritakan langsung oleh
salah satu santri Gus Dur, Ustadz Nuruddin
Hidayat, yang menyaksikan pertemuan Gus
Dur dengan Abu Ibrahim Woyla.
Sebagai tokoh yang dihormati dan
dikagumi banyak orang, rumah Gus Dur tak
pernah sepi dari kunjungan para tamu, baik
dari warga NU, pejabat, politisi, wartawan
dan sebagainya. Gus Dur menerima tamu-
tamunya biasanya dengan pakaian non
formal. Karena kondisi fisiknya yang sudah
lemah, biasanya para tamu diajak
mengobrol sambil tiduran.
“Saya pun merasa terheran-heran
ketika ada tamu, Gus Dur minta untuk
digantikan pakaiannya dengan kain sarung
dan peci, seperti ketika mau shalat Idul
Fitri. Seumur-umur saya belum pernah
melihat Gus Dur seperti itu,” tutur Ustadz
Nuruddun Hidayat.
Rombongan tamu tersebut sampai
ditahan agar tidak masuk rumah dahulu,
sampai Gus Dur dipinjami salah satu sarung
milik santrinya agar bisa cepat berganti
pakaian.
Tamu, yang diketahuinya ternyata
dari Aceh tersebut berpakaian sederhana,
dekil, dan memakai celana seperti yang
biasa dipakai oleh bakul dawet (penjual
dawet). Tamu tersebut diantar oleh aktifitis
Aceh.
Perilaku Gus Dur dan tamunya juga
aneh. Setelah keduanya bersalaman, Gus
Dur pun duduk di karpet, demikian pula
tamunya, tetapi tak ada obrolan di antara
keduanya. Gus Dur tidur, tamunya juga
tidur, suasana menjadi sunyi yang
berlangsung sekitar 15 menit. Setelah sang
tamu bangun, ia langsung pamit pulang, tak
ada pembicaraan.
Karena merasa penasaran, segera
setelah tamu pergi, Santri Nuruddin
Hidayat bertanya kepada Gus Dur: “Pak,
tumben Bapak pakai sarung, ngak biasanya
menerima tamu seperti ini.”
Jawab Gus Dur: “Itu Wali.”
Nuruddin pun kaget dan bertanya:
“Apa ada wali lain seperti beliau Pak?”
“Di sini tidak ada, adanya di Sudan
yang seperti beliau,” jawab Gus Dur.
Ada orang yang menyebutnya sebagai “dewa
tidur”, yang menghabiskan hari-harinya
dengan tidur. Abu Ibrahim Woyla juga bisa
mengetahui perilaku seseorang dan
seringkali orang yang menemui beliau
dibacakan kesalahannya untuk diperbaiki.
Posisi tidur Abu yang dianggap aneh
(melengkung/meukewien), ucapannya sedih
melihat manusia banyak seperti hewan
serta mengatakan dunia ini sudah semakin
sempit.
Gus Dur bertemu kembali dengan
Abu Ibrahim Woyla pada tanggal 09
Muharram, di tahun 2005, tepatnya di
pemakaman masal korban Tsunami Aceh.
Beliaulah yang langsung menjemput Gus
Dur di Bandara Iskandar Muda. Kemudian
keduanya pergi bersama ke pemakaman
masal.
Berada di sebelah kanan Gus Dur
dengan pakian safari putih dan sarung,
beliaulah Abuya Ibrahim Woyla. Beliau
meminta kepada Gusduruntuk mendoakan
para korban. Setelah itu Abuya Ibrahim
Woyla pamit dan menolak bertemu SBY
keesokan harinya yang bertepatan pada
Hari Raya Idul Adha.
10. Abu Ibrahim Woyla dan Tsunami Aceh
Sebelum terjadinya tsunami, Abu
Ibrahim yang pernah mengatakan: “Air laut
bakal naik sampai setinggi pohon kelapa.”
Terbukti setelahnya terjadi bencana
tsunami.
Tepatnya 15 hari sebelum bencana
besar gempa bumi dan gelombang Tsunami
melanda Aceh pada 26 Desember 2004, Abu
Ibrahim Woyla telah mengabarkan kepada
muridnya yang bernama Mukhlis perihal
akan datangnya bencana besar itu.
Namun, hanya kepada dua
muridnya yang kerap mengikutinya ia
beritahukan dan ia melarang
memberitahukannya kepada orang lain.
Hanya saja Mukhlis diperintahkan untuk
segera mengajak keluarganya menjauhi
bibir pantai.
Mukhlis, pria yang sudah berkepala
tiga yang kini sering bermukim di Dayah
Bustanul Huda atau Dayah Pulo Ie, Desa
Dayah Baro, Calang, menceritakan kembali
keseharian Abu sebelum Tsunami
meluluhlantakkan Aceh. Abu tidak seperti
hari-hari sebelumnya, ia sudah jarang
makan dan terlihat gusar. Pernah suatu
waktu Mukhlis dipanggil oleh Abu untuk
memberitahukan perihal bencana besar.
Saat itu, Mukhlis masih menuntut ilmu di
Dayah Peulanteu, Aceh Barat. “Rayeuk that
buet uke nyoe, siberangkaso yang buka
rahasia Allah maka kafee lah jih kafee
(besar sekali kerja ke depan, dan siapa saja
yang membuka rahasia Allah maka dia
kafir),” begitu kata Mukhlis menirukan
ucapan Abu Ibrahim kepadanya.
Mukhlis juga mendengar hal yang
sama dari Abu Utsman yang masih ada
hubungan dekat dengan Abu Ibrahim
Woyla. Bahkan kepada orangtuanya sendiri
Mukhlis tidak memberitahukan apa yang
sudah ia ketahui. “Di lapangan Blang
Bintang kapai akan jipoe uroe malam, di
laot Ulee Lheuh (tidak disebut Ulee Lheue)
akan na kapai laot ubee lapangan bola,
dalam kapai nyan ureung puteh-puteh” (di
Bandara Blang Bintang pesawat akan
terbang siang malam, di laut Ulee Lhee
akan ada kapal laut sebesar lapangan bola,
di dalamnya orang putih-putih-red), ucap
Mukhlis lagi mengutip perkataan Abu
Utsman.
Kata Mukhlis, sejak kata-kata
tersebut diucapkan oleh Abu Ibrahim,
keseharian Abu seperti berubah. Bahkan
jika sedang tidur malam hari, sering Abu
tiba-tiba terbangun dan langsung duduk
berdzikir. Melihat ini, perasaan Mukhlis
pun semakin cemas, dalam hatinya ia
merasa kalau peristiwa besar sudah
semakin dekat. “Lon kalon dari sikap Abu,
lon na firasat sang ata yang geupeugah le
Abu ka to that (Saya lihat sikap Abu, saya
punya firasat bahwa apa yang dikatakan
Abu sudah sangat dekat),” jelas Mukhlis.
Entah apa yang terpikirkan oleh
Abu, 4 hari sebelum gempa bumi dan
Tsunami di Aceh, Abu Ibrahim mengajak
Mukhlis ke Banda Aceh. Dengan mobil
pinjaman, Mukhlis menyupiri Abu hingga
ke Banda Aceh. Di Banda Aceh, mereka
menginap di salah satu rumah di kawasan
Blower. “Na geulakee le po rumoh beu
geuteem eh Abu meusimalam bak rumoh
gob nyan (ada permintaan dari yang punya
rumah agar Abu Ibrahim berkenan
bermalam semalam saja di rumahnya),”
kata Mukhlis.
Mukhlis menambahkan, saat di
sana, sewaktu makan pun Abu tidak makan
lagi, Abu mengepal nasinya menjadi tiga
bagian. Setelah Abu makan sedikit satu
bagian dari kepalan nasinya, kemudian
seluruhnya Abu berikan kepadanya untuk
dimakan.
Pada esoknya, Kamis pagi 23
Desember 2006, Abu berkata kepada
Mukhlis jika ia ingin jalan-jalan keliling
Kota Banda Aceh. Tanpa membantah,
dengan mobil pinjamannya Mukhlis pun
membawa Abu jalan-jalan.
Setelah sarapan alakadarnya di
warung samping Simbun Sibreh (deretan
Satnarkoba Polda Aceh), lalu Abu meminta
Mukhlis untuk membawanya ke kawasan
Peulanggahan. Tiba di depan mesjid Tgk Di
Anjong, Abu minta mobil dihentikan di luar
pagar masjid. “Abu geu ngeing u arah
makam Tgk Di Anjong, sang-sang Abu
teungoh geupeugah haba, kadang Abu
teukhem keudroe” (Abu menatap ke arah
makam Tgk Di Anjong,seolah-olah Abu
berbicara, sesekali Abu tersenyum sendiri),
jelas Mukhlis.
Usai singgah di makam Tgk Di
Anjong, Peulanggahan, Kecamatan Kutaraja,
Banda Aceh, Abu melanjutkan perjalanan
ke arah Gampong Jawa. Saat dalam
perjalanan, ada seorang wanita paruh baya
yang mengenal Abu. Spontan wanita
tersebut memanggil Abu dan meminta Abu
untuk singgah di rumahnya. Rombongan
Abu Woyla kemudian memenuhi permitaan
dan singgah di rumah wanita tersebut.
Wanita pemilik rumah itu, kata
Mukhlis, menginginkan anaknya untuk
minum air yang dicelupkan dengan
musabah Abu Ibrahim. “Sampai di rumah
wanita tersebut, kami disajikan kopi, tetapi
airnya sangat panas hingga kami tidak
sempat minum. Tapi Abu langsung
meminumnya walau airnya masih panas.
Setelah itu Abu menyelupkan musabahnya
ke dalam air yang akan diberikan kepada
anak wanita tersebut,” kata Mukhlis.
Tak beberapa lama di rumah wanita
itu, Abu dan Mukhlis kemudian
melanjutkan perjalanan dari Gampong
Jawa dan kembali ke arah Peunayong,
seterusnya sampai di depan RSUZA, Jalan T
Nyak Arief. Di tempat itu Abu Ibrahim
kemudian meminta kepada Mukhlis untuk
mengarahkan kenderaan mereka ke Masjid
Raya Baiturrahman.
Dalam sekejap saja, mobil yang
dikendarai Mukhlis sudah berada di depan
Mesjid Raya Baiturrahman. Di sana mobil
dihentikan sesuai permintaan Abu. Dari
dalam mobil, dengan kaca terbuka Abu
menatap ke arah mesjid sembari
melambaikan tangannya dengan gerakan
arah telapak tangannya ke bawah. “Berkali-
kali Abu melakukan itu,” ujar Mukhlis.
“Di akhir Abu menggerakkan
tangannya tiga kali menghadap masjid raya,
seperti tanda memotong sesuatu,” tiru
Mukhlis dengan gerakan tangannya dari
arah kiri ke kanan.
Usai perjalanan singkat tersebut,
Abu langsung kembali ke tempat ia
menginap dan mengatakan kepada Mukhlis,
jika Abu malam nanti akan berangkat ke
Padang, Sumatra Barat. Sebelum berangkat,
Mukhlis memohon izin kepada Abu bahwa
ia tidak bisa menemani Abu ke Padang
karena ia baru berkeluarga. “Menyoe
meunan Do’a bak lon” (kalau begitu doa
dari saya), ujar Mukhlis mengulang
perkataan Abu kepadanya kala itu.
Dua hari setelahnya, Tsunami
meluluhlantakkan Aceh begitu dahsyatnya.
Namun kata Mukhlis, gelombang Tsunami
yang datang pada 26 Desember 2004 lalu
itu, sepertinya berhenti di seputaran
kawasan Abu Ibrahim Woyla jalan-jalan di
Banda Aceh sebelum Tsunami itu terjadi.
Setelah itu, Mukhlis pun tidak lagi
mengetahui kegiatan Abu hingga gempa
bumi dan Tsunami melanda Aceh. Baru
pada hari keempat setelah kejadian yang
menewaskan ratusan ribu umat manusia
itu, Mukhlis bertemu kembali dengan Abu
di salah satu rumah di kawasan Geuceu
Komplek, Banda Aceh.
Setelah bertemu di sana, pada sore
hari Abu mengajak Mukhlis jalan-jalan ke
Lhoknga. Kembali Mukhlis meminjam
sebuah mobil milik kerabatnya yang juga
mengenal Abu Ibrahim Woyla. Setibanya di
kawasan Peukan Bada, Mukhlis melihat
tumpukan sampah Tsunami yang belum
dibersihkan dan masih ada mayat-mayat
bergeletakan di sekitar mereka.
Melihat kondisi medan yang tidak
mungkin dilewati, Mukhlis mengadu kepada
Abu jika tidak mungkin mobil melewati
jalan, karena masih banyak puing Tsunami
dan benda tajam lain yang menghambat
laju kenderaan mereka. “Hana peu-peu,
tajak laju” (tidak masalah, jalan saja),
begitu kata Abu ujar Mukhlis saat ia
mengadu.
Mendengar kata Abu, Mukhlis pun
terus mengendarai kendaraannya melewati
puing Tsunami yang logikanya tidak
mungkin dilewati oleh kendaraan. Mereka
terus berjalan hingga ke jembatan yang
terputus di kawasan Lhoknga, Aceh Besar.
Setiba di sana, mereka berjumpa
dengan seorang wanita yang mengenal
sosok Abu Ibrahim Woyla. Wanita itu
menceritakan, dalam musibah itu suaminya
menjadi korban dan sampai hari keempat
setelah Tsunami ia belum bertemu dan
mengetahui nasib suaminya itu. Lantas
wanita itu meminta Mukhlis untuk
menanyakan kepada Abu Ibrahim,
bagaimana perihal nasib suaminya yang
diseret arus Tsunami.Melalui Mukhlis, Abu menjawab
singkat pertanyaan wanita tersebut:
“Suaminya sedang jalan-jalan jauh.”
Di tempat itu, Abu Ibrahim bersama
Mukhlis berada hingga langit mulai merah
dan matahari akan tenggelam.
Kini, Mukhlis dengan beberapa
rekannya hanya mengurusi dan
membangun Dayah Bustanul Huda
Gampong Dayah Baro di Kabupaten Aceh
Jaya. Penuturan lelaki ramah dan berilmu
agama ini, Dayah tempat dirinya dan santri
lain memperdalam ilmu Islam sekarang ini,
dibagun pada tahun 2006 silam. Dan pesan
Abu Ibrahim Woyla semasa hidupnya
adalah: “Amanah Abu, bek meulake bak gop
keu peudong dayah, peulaku ubee
sangguop” (Amanah Abu, jangan meminta-
minta untuk mendirikan dayah, kerjakan
sesuai kesanggupan), tegas Mukhlis
menirukan ucapan Abu.
11. Kewafatan Abu Ibrahim Woyla
Belum pernah terjadi dalam sejarah
di Woyla (Aceh Barat) bila seseorang
meninggal ribuan orang datang melayat
(takziah) kecuali pada waktu wafatnya Abu
Ibrahim Woyla. Selama hampir 30 hari
meninggalnya Abu Ibrahim Woyla
masyarakat Aceh berduyun-duyun datang
melayat ke kampung Pasi Aceh, Kecamatan
Woyla Induk, Aceh Barat sebagai tempat
peristirahatan terakhir Abu Ibrahim Woyla.
Selama 30 hari itu ribuan orang
setiap hari tak kunjung henti datang
menyampaikan duka cita mendalam atas
wafatnya Abu Ibrahim Woyla, sehingga
pihak keluarga menyediakan 400 kotak air
mineral gelas dan 3 ekor lembu setiap hari
dari sumbangan mantan Gubernur Aceh
Irwandi Yusuf untuk menjamu para tamu
yang datang silih berganti ke tempat
wafatnya Abu Ibrahim Woyla. Begitulah
pengaruh ke-ulama-an Abu Ibrahim Woyla
dalam pandangan masyarakat Aceh,
terutama di wilayah Aceh Barat dan Aceh
Selatan.
Beliau berpulang ke Rahmatullah
pada hari Sabtu pukul 16.00 WIB tanggal 18
Juli 2009 di rumah anaknya di Pasi Aceh
Kecamatan Woyla Induk, Kabupaten Aceh
Barat dalam usia 90 tahun.
Peneliti LKAS Banda Aceh pernah
berziarah ke makan beliau pada bulan
April 2010. Melihat makam yang dijaga
oleh anak tertuanya, banyak sekali
diziarahi oleh masyarakat. Namun pihak
keluarga sangat hati-hati dan berpesan
pada penziarah agar makan Abu Ibrahim
Woyla tidak dijadikan tempat pemujaan.
Begitulah sebagian dari perjalanan
riwayat hidup seorang ulama wali Allah,
Abu Ibrahim Woyla, yang sulit dicari
penggantinya di Aceh sekarang ini.
12. Kuburan Abu Ibrahim Woyla Digandakan
Berdasarkan informasi dari
tribunnews, pihak keluarga almarhum Abu
Ibrahim Woyla memprotes terhadap
penggandaan kuburan di tiga lokasi di
Kecamatan Bubon, Aceh Barat, oleh seorang
ulama di wilayah itu. Padahal, jasad
almarhum sudah dikebumikan di Desa Pasi
Aceh, Kecamatan Woyla. Karena itu, pihak
keluarga meminta Majelis Permusyaratan
Ulama (MPU) segera menyelesaikan
masalah tersebut, sebelum pihak keluarga
turun tangan.
Mohd Miswar didampingi Tgk Zul
Zamzami dari keluarga almarhum Ibrahim
Woyla kepada Serambi, mengatakan,
penggandaan kuburan Abu Ibrahim Woyla
hingga menjadi tiga lokasi oleh seorang
ulama sangat meresahkan pihak keluarga
besar almarhum Abu Ibrahim Wolya.
Sebab, kuburan Abu Ibrahim adalah di Desa
Pasie Aceh, Kecamatan Woyla. Sedangkan
dua kuburan lain yang menurut keluarga
Abu Ibrahim adalah kuburan palsu, yakni
di Desa Peulante dan Desa Blang Sibeutong
Kecamatan Bubon.
“Pihak keluarga sudah melihat
langsung kedua keburan tersebut. Ini benar-
benar bisa menyesatkan umat, karena itu
kami mengharapkan agar MPU segera
menyelesaikan masalah tersebut, sebelum
pihak keluarga Abu Ibrahim turun tangan,”
tegas Miswar yang juga mantan anggota
DPRK Aceh Barat tersebut.
Ditegaskan Miswar, almarhum Abu
Ibrahim dikebumikan di Desa Pasi Aceh
Kecamatan Woyla yang merupakan desa
tempat kelahirannya dan tidak dikebumikan
di dearah lain. Menurut Miswar, jika
masalah itu tidak segera diselesaikan oleh
pihak MPU, dikhawatirkan bisa
menyesatkan masyarakat. Sebab, ujar
Miswar, dalam agama Islam tidak boleh
kuburan seseorang ada tiga buah, karena
jasad manusia pun cuma satu.
Ketua MPU Aceh Barat, Teungku
Abdurrani yang dikonfirmasi Serambi
Jum’at mengakui telah mendapatkan
laporan mengenai penggandaan kuburan
tersebut. “Informasi itu memang sudah
kami terima, dan yang kita sayangkan
justru yang melakukan penggandaan
kuburan itu seorang ulama di wilayah itu,”
ujar Abdurrani.
Teungku Abdurrani juga menyebutkan,
dalam syariat tidak boleh digandakan
kuburan. Karena itu, Ketua MPU Aceh
Barat itu berjanji segera bermusyawarah
dengan ulama tersebut guna menyelesaikan
masalah penggandaan kuburan itu.
ABUDAN
Tidak ada komentar:
Posting Komentar